jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengapresiasi kebijakan pemerintah menghentikan penjualan paket pelatihan di program Kartu Prakerja oleh mitra platform digital.
Namun demikian, dia juga mengingatkan penegak hukum jangan diam terhadap dugaan kerugian negara di kegiatan itu.
BACA JUGA: Pemerintah Tak Perlu Keluarkan Dana Triliunan untuk Kartu Prakerja, Cukup Rp 50 Miliar
Didik mengatakan bahwa sejak awal masyarakat menyoroti program Kartu Prakerja, terutama masalah transparansi dan akuntabilitasnya. Penghentian ini, kata Didik, setidaknya menjawab anggapan publik tersebut.
"Dan hal ini mudah diprediksi akan adanya potensi atau permasalahan dalam pelaksanaan Kartu Prakerja. Secara kasat mata dan pemikiran sebetulnya sejak awal seharusnya bisa dirasakan tentang potensi penyimpangan tersebut," ucap Didik kepada jpnn.com, Kamis (2/7).
Sejak awal publik menyoroti cerita di balik potensi konflik kepentingan, penunjukan kemitraan tanpa melalui mekanisme tender, dugaan dagang pengaruh, transparansi, serta akuntabilitasnya yang dianggap tidak terpenuhi. Padahal, kegiatan itu menggunakan keuangan negara yang sangat besar.
BACA JUGA: Begini Penjelasan Ketua KPK soal Kerugian Negara di Kartu Prakerja
Persoalan di program Kartu Prakerja itu menurutnya tergambar dalam hasil kajian serta rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencium adanya permasalahan mulai tahap pendaftaran peserta, kemitraan dengan 8 platform digital, hingga jual beli materi pelatihan.
Soal kemitraan dengan platform digital, misalnya, KPK menyatakan tidak dilakukan melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, hingga terdapat konflik kepentingan pada 5 platform digital dengan Lembaga Penyedia Pelatihan yaitu 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia.
BACA JUGA: Terungkap Motif Pembakaran Mobil Via Vallen, Mungkin Anda Heran
Terkait materi pelatihan, KPK menyatakan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Hanya 24 persen dari 1.895 pelatihan yang layak untuk dikategorikan sebagai pelatihan.
Dari jumlah itu, cuma 55 persen yang layak diberikan dengan metode daring. Pelatihan yang memenuhi syarat baik materi maupun penyampaian secara daring hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
Berdasarkan temuan itu, serta mengingat potensi risiko timbulnya inefisiensi dan kerugian negara yang cukup besar, maka sangat dimengerti dan kewajiban KPK mengingatkan pemerintah untuk menghentikan sementara pelaksanaan Paket Pelatihan tersebut guna mencegah menguapnya uang negara.
"Temuan KPK tersebut sangat terang dan nyata akan adanya permasalahan dengan basis transparansi dan akuntabilitas. Terbukti bahwa konsep dan kebijakan program Kartu Prakerja belum proper dilaksanakan, sehingga sangat rawan untuk dikorupsi, potensial terjadinya bancaan uang negara," jelasnya.
Nah, ketua Departemen Hukum dan HAM DPP Partai Demokrat ini menyatakan ada bijaknya temuan-temuan KPK tersebut terus dikawal dan ditindaklanjuti baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum baik polisi, jaksa dan maupun KPK sendiri.
"Meskipun hingga saat ini apabila benar belum ada aliran uang negara ke platform digital, sehingga belum ada delik korupsi, namun pemerintah dan penegak hukum tidak boleh abai atau menutup diri terkait dengan potensi kejahatan lainnya di balik pelaksanaan program Kartu Prakerja gelombang satu, dua dan tiga," tegas Didik.
Di sisi lain, legislator asal Jawa Timur ini mengingatkan pemerintah untuk aware terhadap potensi gugatan para platform digital yang materi pelatihannya sudah diakses oleh para penerima manfaat. Sebab, pemerintah juga tidak boleh abai terhadap kewajibannya.
Ditegaskan Didik, Rp 5,6 T biaya pelatihan adalah uang yang sangat besar untuk dibagi oleh delapan platform digital mitra penyedia materi pelatihan.
Bisa bayangkan potensi kerugian negaranya bila dilakukan tanpa transparansi, serta akuntabilitas yang cukup.
"Sejak awal seharusnya aparat penegak hukum ikut mengawal dan memitigasi potensi penyimpangan terhadap uang negara yang sedemikian besar," tandasnya. (fat/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam