jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Pangi Syarwi Chaniago merasa heran dengan keberadaan koalisi besar pendukung Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Menurutnya, wajar muncul kekhawatiran PAN masuk koalisi hanya untuk memuluskan wacana amendemen UUD 1945, menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
BACA JUGA: Jangan Beri Kesempatan Militer Mudah Masuk Urusan Domestik
Kekhawatiran itu muncul, setelah diketahui Partai Amanat Nasional (PAN) kini masuk koalisi parpol pendukung pemerintah.
Membuat koalisi yang sebelumnya sudah gemuk, kini bertambah gemuk lagi.
BACA JUGA: Elektabilitas Ganjar Melejit Bisa Jadi Gegara Peristiwa Waktu itu
"Pertanyaan pertama, apa tujuan Presiden Jokowi di balik pembentukan koalisi tambun di periode kedua," ujar Pangi dalam keterangannya, Jumat (27/8).
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini, koalisi besar biasanya dibentuk pada periode pertama.
BACA JUGA: Lihat Selisih Elektabilitas Ganjar Puan dan Airlangga, Jauh!
Pemerintahan yang berkuasa cenderung tak lagi fokus menambah koalisi pada periode kedua.
Karena sudah tidak memungkinkan untuk kembali berkuasa, sebab konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya boleh dipilih dua kali.
"Nah, ini kan menambah koalisi di periode kedua. Muncul pertanyaan lain, apa punya agenda untuk memuluskan langkah politik amendemen kelima UUD 1945, menambah masa jabatan presiden tiga periode? Menyeruak bau amis yang mulai tak sedap," ucapnya.
Menurut Pangi, jika memperbesar koalisi bertujuan untuk mengamankan rencana amendemen, publik harus dengan tegas menolaknya.
"Karena dapat dipastikan tidak akan ada dialektika dan pembahasan yang rasional dan substantif. Hanya akan unjuk kekuatan, tanding-tandingan jumlah kursi di parlemen," katanya.
Pangi lebih lanjut mengatakan desain relasi institusi hubungan eksekutif dengan legislatif dalam konteks sistem demokrasi secara umum diwarnai dua kecenderungan.
Pertama, pola relasi yang bersifat dominasi satu lembaga atas yang lain, baik dominasi eksekutif terhadap legislatif maupun sebaliknya.
Kedua, pola relasi yang didasarkan pada keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif.
Dalam istilah politik disebut check and balances.
"Jika presiden hanya didukung kekuatan minoritas parlemen, cenderung membuka peluang pemakzulan bagi presiden."
"Apabila presiden didukung kekuatan mayoritas mutlak di parlemen maka yang cenderung terjadi adalah pemerintahan kolutif dan koruptif," katanya.
Pangi juga menyebut koalisi partai pendukung pemerintah sudah 83 persen kursi di DPR.
Cenderung hanya tinggal PKS dan Partai Demokrat yang berada di luar partai koalisi pendukung pemerintah.
"Tinggal PKS dan Demokrat, semoga konsisten tidak menjadi tukang stempel dan mengamini semua kebijakan pemerintah," pungkas Pangi.(gir/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Ken Girsang