Pancasila dan Bahasa Indonesia Raib dari Daftar Mata Kuliah Wajib, HNW Sarankan Ini ke Jokowi

Minggu, 18 April 2021 – 06:15 WIB
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid alias HNW. Foto Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA menyayangkan berulangnya kecerobohan dalam pembuatan peraturan. Sebelumnya, kecerobohan terjadi pada kasus hilangnya ‘frasa agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035.

Kini, kecerobohan tersebut terjadi pada hilangnya Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib untuk perguruan tinggi (PT), sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

BACA JUGA: Syarief Hasan Pertanyakan Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia di PP 57 Tahun 2021

HNW sapaan akrab Hidayat, mengusulkan untuk mengakhiri polemik dan kegaduhan, pemerintah segera mencabut dan mengevaluasi secara menyeluruh PP 57/2021 yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly.

Sebab, ujar dia, menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di PT, adalah suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

BACA JUGA: Ahmad Basarah: Revisi PP 57/2021 Solusi Kembalikan Pancasila Dalam Pendidikan Nasional

HNW menilai upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan memperbaiki kesalahan tersebut dengan merevisi PP 57/2021 tidaklah memadai.

Apalagi, ujar dia, sebelumnya Kemendikbud juga melakukan kesalahan fatal dengan menghilangkan frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional.

BACA JUGA: Sikap Bamsoet Soal SNP yang Tak Memuat Pendidikan Pancasila Sebagai Pelajaran Wajib Siswa

Oleh karena itu, HNW menyatakan perlu dilakukan evaluasi mendasar dan menyeluruh setelah hilangnya frasa agama, dan sekarang Pancasila serta bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib, di tengah gencarnya pemerintah memerintahkan rakyat untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.

“Peristiwa bermasalah itu tentu bukan hal yang biasa saja, dan bisa menjadi sangat serius,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (17/4).

Menurutnya, evaluasi menyeluruh dan pencabutan PP perlu dilakukan agar kebijakan atau proses legislasi oleh pemerintah tidak lagi secara grusa grusu dan mengabaikan prinsip kehati-hatian juga profesionalitas.

“Ini sudah kesekian kali terjadi. Sebelumnya, hilangnya frasa agama dari Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, atau perpres yang membolehkan investasi miras yang akhirnya dicabut oleh presiden, dan sekarang hilangnya kewajiban mata kuliah Pancasila,” ujarnya.

HNW menyatakan hal ini untuk memastikan peristiwa serupa tidak terulang lagi, siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut harus diberi sanksi.

Sebab, masalah itu tidak hanya mispersepsi seperti disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim, tetapi adanya proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan UU dibiarkan sampai ke meja bahkan sudah ditandatangani presiden dan diundangkan oleh menkumham.

“Kalau kesalahan fatal soal aturan resmi terkait pendidikan ini tidak dikoreksi dengan serius, maka ini akan menjadi teladan buruk dan pembelajaran negatif bagi mahasiswa, dunia pendidikan dan bahkan masyarakat pada umumnya,” kata HNW.

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyayangkan sikap Mendikbud Nadiem Makarim dan Presiden Jokowi yang tidak teliti sebelum memproses rancangan PP itu dan menandatanganinya.

“Kok bisa PP yang tak sesuai dengan UU tersebut bisa sampai ke presiden dan akhirnya ditandatangani oleh presiden? Seharusnya hal ini tidak terjadi apabila seluruh proses berjalan dengan prinsip amanat atau profesional, teliti, dan hati-hati,” ungkapnya.

HNW menilai upaya mengoreksi PP bermasalah ini tidak bisa hanya sekadar menggunakan siaran pers sebagaimana sudah dilakukan Kemendikbud. Namun, kata dia, semestinya melalui pencabutan resmi untuk merevisi PP tersebut oleh presiden.

Dia khawatir bila itu tidak dilakukan maka PP ini akan bernasib sama seperti Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang membolehkan investasi miras, yang secara lisan presiden menyatakan mencabut, tetapi tidak dilanjutkan dengan proses koreksi legislasi.

Menurutnya, sampai sekarang revisi atau pencabutan resmi terhadap perpres tersebut belum ada. Dia mengatakan lampiran perpres tersebut hanya dicabut berdasarkan pidato Presiden Jokowi.

“Jadi, bagaimana status hukum pencabutan tersebut juga dampak turunannya? Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip dan mekanisme yang semestinya berlaku di negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945,” jelasnya.

Lebih lanjut HNW berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi pemerintah, dan segera mengoreksinya dengan cara yang legal. Oleh karena itu, dia menyarankan sebaiknya PP itu secara resmi segera dicabut oleh presiden yang telah menandatanganinya dan dilakukan evaluasi secara menyuruh.

“Setelah dipastikan tidak lagi bermasalah, presiden mengeluarkan PP baru yang mewajibkan pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia beserta pengaturan teknisnya, sebagaimana diatur dalam UU Perguruan Tinggi, UU Sisdiknas dan juga UUD NRI 1945,” pungkas Hidayat Nur Wahid. (*/jpnn)

 

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler