Pancasila Memelihara Takdir 'Saudara-saudara Se-Tanah Air'

Oleh: Bambang Soesatyo

Selasa, 27 April 2021 – 21:29 WIB
Ketua MPR MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - ‘SAUDARA-saudaraku Sebangsa dan Setanah Air’, akan menjadi ungkapan salam atau sapaan tanpa makna, jika generasi muda terkini tidak tahu memaknai dan mengejahwantahkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai perekat takdir keberagaman Indonesia.

Fondasi NKRI akan terus digerogoti jika kegagalan orang muda menghayati Pancasila terus dibiarkan.

BACA JUGA: Karang Taruna, Perilaku Enterpreneurship, dan Generasi Muda

Ketika banyak elemen masyarakat atau komunitas meneriakkan semangat dan prinsip ‘NKRI Harga Mati’, ungkapan ini lebih sebagai dorongan kepada negara untuk segera bersikap lebih tegas terhadap aksi dan ujaran dari kelompok-kelompok yang terus berupaya menggerogoti fondasi NKRI.

Fakta dan kecenderungan menyangkal takdir keberagaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diperjuangkan dan dipertontonkan kelompok-kelompok tertentu itu sudah menjadi pengetahuan umum, dan setiap komunitas memiliki catatan contoh kasus.

BACA JUGA: Bamsoet Ajak Generasi Muda Memperkuat Nilai-Nilai Kebangsaan

Paling baru dan relevan untuk dikedepankan adalah contoh kasus serangan bersenjata di Mabes Polri oleh seorang wanita muda, akhir Maret 2021, dan juga aksi bom bunuh diri oleh pasangan suami-istri berusia muda di gerbang Gereja Katedral di kota Makassar.

Ketiga pelaku pada dua aksi itu diyakini memiliki banyak simpatisan atau pendukung. Sebab, ada penelitian yang mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal.

BACA JUGA: The Professor Band Hadirkan Album Pembumian Pancasila

Bahkan, Badan Intelijen Negara (BIN), pada 2018, juga menerbitkan catatan tentang 41 dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN pun sudah terpapar paham radikal.

Temuan GP Ansor juga memperkuat data BIN itu. Selain itu, investigasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 pun mengungkap sekitar dua juta pegawai BUMN berpotensi terpapar paham radikal.

Mereka adalah komunitas yang menolak keberagaman, dan dengan sendirinya menyangkal pula Pancasila sebagai perekat keberagaman itu. Mereka memilih menerima dan patuh tanpa syarat terhadap pandangan atau ajaran yang mengajak atau menyuruh mereka memusuhi negaranya sendiri, serta membenci siapa saja yang pandangan hidupnya tidak sama dengan  mereka.

Dengan begitu, dalam konteks Ke-Indonesia-an semua komunitas di negara ini, mereka pun menolak atau tidak mengakui orang lain di luar kelompok mereka sebagai ‘Saudara Sebangsa dan Setanah Air’.

Penyangkalan terhadap Pancasila sebagai perekat keberagaman NKRI bisa terjadi karena negara dalam sebuah periode yang cukup panjang tidak militan dalam upaya menanamkan nilai-nilai luhur lima sila Pancasila kepada generasi muda.

Absennya negara menghadirkan Pancasila dalam proses tumbuhkembang orang muda dimanfaatkan kelompok-kelompok penganut paham radikal untuk menanamkan ajaran-ajaran sesat, termasuk ajakan memusuhi negara dan masyarakat, serta rangkaian aksi bunuh diri.

Pembawa paham radikal itu melakukan penetrasi hingga ke berbagai aspek kehidupan orang muda; dari ruang belajar, kelompok kegiatan hingga tempat kerja. Akibatnya sudah dialami dan dirasakan semua orang.

Negara harus belajar dari semua pengalaman buruk itu. Ketiadaan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib bagi orang muda di semua jenjang pendidikan menjadi sebuah kesalahan cukup fatal, dan kesalahan ini harus dibayar dengan cukup mahal.

Mencari dan menunjuk siapa paling bersalah tidak akan menyelesaikan masalah. Sangat bijaksana jika hal itu diterima sebagai kesalahan bersama yang tentu saja harus segera diperbaiki. 

Oleh karena itu, inisiatif Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mendorong revisi UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) guna mengembalikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib patut diapresiasi dan didukung.

Seperti diketahui, Pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi memuat pendidikan kewarganegaraan. Pancasila tidak secara khusus tercantum sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib. Maka, belajar dari pengalaman buruk selama ini, sekarang adalah waktunya bagi negara membuat dan memberlakukan keputusan tegas, dengan mewajibkan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan.

Perjalanan sejarah bangsa mencatat bahwa takdir keberagaman NKRI direkatkan atau sudah dimeteraikan oleh Pancasila. Pancasila -- yang kandungan falsafahnya bersumber dari kearifan lokal semua suku dan golongan di seantero bumi nusantara -- merekatkan persaudaraan semua komponen bangsa.

Dan, Pancasila akan selalu memelihara dan merawat persaudaraan itu. Itu sebabnya, setiap orang Indonesia berhak menyapa warga dari semua daerah dan golongan dengan salam dan sapaan ‘Saudaraku Sebangsa Setanah Air’.

Memang, adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia merasakan masih adanya tantangan kebangsaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tantangan itu antara lain berupa melemahnya toleransi dalam menyikapi keberagaman, demoralisasi generasi muda bangsa, dan memudarnya identitas dan karakter bangsa.

Fakta bahwa Indonesia per geografis sebagai negara kepulauan yang terpisah oleh laut tidak boleh menjadi faktor yang melemahkan.

Dan, kendati secara sosio-kultural, bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan tidak akan pernah merusak prinsip ‘Saudara Sebangsa Setanah Air’. Penyatuan dan persaudaraan itu dipelihara dan dirawat oleh Pancasila sebagai benteng untuk menghadapi berbagai potensi ancaman yang ingin menceraiberaikan ikatan kebangsaan.

Dengan begitu, Pancasila sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa sudah final. Tak hanya merekatkan kebhinekaan, Pancasila juga menjadi sumber nilai bagi pembangunan karakter generasi muda bangsa (nation character building).

Sebab, di dalam lima sila itu terkandung falsafah, prinsip dan semangat spiritualisme, humanisme, nasionalime, etika serta standar moral, dan beragam sistem nilai positif  hingga nilai dan prinsip kebenaran universal. Bukankah semua kandungan nilahi luhur ini menjadi gizi yang amat dibutuhkan anak dan remaja  dalam proses tumbuhkembang mereka?

 

Penulis adalah Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia/Wakil Ketua Umum Partai Golkar

 


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler