jpnn.com, JAKARTA - Pandemi virus corona (covid-19) membuat target penurunan angka stunting nasional terancam terhambat.
Mantan Asisten Deputi Ketahanan Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak, dan Kesehatan Lingkungan Kemenko PMK Media Octarina mengatakan, stunting ditargetkan turun 14 persen pada 2024.
BACA JUGA: Merealokasikan Anggaran Stunting Bisa Timbulkan Lost Generation
Dengan kondisi seperti saat ini, timbul kekhawatiran apakah target ini bisa tercapai,” kata dia dalam diskusi yang digelar oleh Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG), Rabu (13/5).
Dia menambahkan, posyandu dan tenaga kesehatan di puskesmas terdampak virus corona.
BACA JUGA: Ahmad Syafiq: Covid-19 Juga Mengancam Penderita Stunting
Oleh karena itu, dibutuhkan modifikasi strategi kebijakan yang dapat diimplementasikan di tingkat daerah.
Dengan demikian, malanutrisi bisa dicegah demi menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia di tengah pandemi corona.
Dalam mencegah terjadinya malnutrisi, deteksi dini seperti pemantauan pertumbuhan rutin di fasilitas kesehatan memiliki peran krusial.
Guru Besar FKUI Damayanti Rusli Sjarif menuturkan, kebijakan #DiRumahAja dan physical distancing menyulitkan pemantauan pertumbuhan balita di posyandu.
“Apabila tidak cepat dideteksi melalui pengukuran berat badan, panjang badan, hingga lingkar kepala, anak-anak bisa menderita malanutrisi kronis hingga menjadi stunting,” ujar dia.
Menurut Damayanti, selain memengaruhi otak, nutrisi pada awal kehidupan seperti protein hewani, asam amino, zat besi, maupun zinc, juga berpengaruh kepada daya tahan tubuh seorang anak.
Asupan yang tidak cukup dapat berpengaruh pada penurunan berat badan, weight faltering (kenaikan berat badan yang tidak sesuai kurva), kesulitan nafsu makan, hingga malanutrisi.
Dia menjelaskan, tumbuh kembang yang tidak sesuai usia juga dapat menjadi salah satu pertanda bahwa telah terjadi penurunan daya tahan tubuh pada anak.
Kondisi tersebut membuat anak lebih rentan terhadap infeksi, termasuk pathogen seperti virus.
“Bahayanya, infeksi berulang akan mengganggu saluran cerna, malabsorpsi nutrisi, risiko malanutrisi, hingga mengganggu hormon pertumbuhan pada anak, yang dapat berujung pada stunting akibat malnutrisi kronis yang dibiarkan tidak terdeteksi,” ujar Damayanti.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti menjelaskan bahwa memang ada risiko peningkatan masalah gizi akut dan kronis yang disebabkan oleh menurunnya akses dan daya beli masyarakat terhadap pangan bergizi akibat pandemi covid-19.
Di tengah PSBB, pihaknya meminimalisisai kunjungan masyarakat ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan mengutamakannya untuk yang bersifat mendesak dan gawat darurat.
“Kami menyeimbangkannya dengan rencana modifikasi pelayanan seperti kunjungan rumah bagi sasaran berisiko, konseling virtual, edukasi masyarakat, hingga komunikasi melalui grup di media sosial,” ujar Dhian.
Dokter Spesialis Anak Rachmat Sentika menuturkan bahwa penderita gizi buruk dan gizi kurang dapat berisiko, terutama dalam 3 bulan masa PSBB ini.
“Petugas kesehatan di mana pun berada harus mengutamakan preventif. Jangan sampai yang sehat menjadi jatuh sakit. Salah satu caranya adalah pemberian PMT seperti anjuran Permenkes nomor 29 bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di bawah pengawasan tenaga medis,” kata dia.
Direktur Eksekutif HIPPG Widya Leksmanawati Habibie menekankan pentingnya protein hewani dan nutrisi yang cukup untuk menjaga gizi anak selama masa pandemi.
“Diskusi Kesiapan Daerah dalam Penaganan Pandemi Covid-19 dan Prioritas Penurunan Stunting akan terus diadakan setiap hari Rabu dan Jumat untuk memfasilitasi sesi sharing maupun koordinasi antarlembaga yang terus berperan aktif dalam menjaga kesehatan anak-anak Indonesia,” ujarnya. (jos/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ragil