jpnn.com, JAKARTA - Pakar ekonomi dari Universitas Nasional Jakarta Prof I Made Adnyana menilai, angka surplus perdagangan Indonesia pada Maret lalu merupakan hal menggembirakan di tengah ancaman pandemi COVID-19.
Neraca perdagangan Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami surplus USD 743,4 juta pada Maret 2020 lalu, dengan nilai ekspor USD 14,09 miliar dan impor USD 13,35 miliar.
BACA JUGA: Makin Diserang, Industri Kelapa Sawit Indonesia Justru Kian Show Off
"Angka surplus itu menggembirakan di tengah situasi saat ini yang tidak menentu,” ujar Adnyana pada webinar yang diselenggarakan Pusat Kajian Sosial Politik Universitas Nasional (PKSP) Jakarta, bekerja sama dengan Center for Information and Development Studies (CIDES), di Jakarta Selatan, Kamis (3/9) siang.
Adnyana juga memaparkan neraca perdagangan selama Januari–Maret 2020.
BACA JUGA: Domba Paling Mahal di Dunia, Harganya Bikin Geleng Kepala
Tercatat surplus mencapai USD 2,62 miliar, dengan nilai ekspor sebesar USD 41,79 miliar dan impor USD 39,17 miliar.
“Posisi ini masih jauh lebih bagus dibanding periode sama tahun lalu yang mengalami defisit 62,8 juta dollar,” ucapnya.
BACA JUGA: Kemitraan Petani dengan Pengusaha Perkuat Daya Saing Industri Sawit
Meski demikian, Adnyana mengakui perlu ada langkah terobosan menghadapi kondisi new normal saat ini.
“Optimalkanlah segala sumber daya yang ada termasuk lebih memaksimalkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pada bisnis,” katanya.
Adnyana juga menyebut, kondisi new normal memunculkan peluang bagi Indonesia menjadi supplier bahan baku, atau barang setengah jadi untuk mengurangi ketergantungan produksi pada Tiongkok.
“Saya kira sektor industri manufaktur domestik juga bisa menjadi bagian dalam rantai pasok industri global,” ucapnya.
Sementara itu, peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan memaparkan sejumlah subsektor yang tumbuh positif di masa pandemi Covid-19 meliputi industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, serta logam dasar.
"Pasar kita memiliki ukuran daya saing yang sangat tinggi, menempati peringkat ketujuh terbesar di dunia," ucapnya.
Abdul Manap menyoroti realisasi Program Ekonomi Nasional (PEN) yang hingga Agustus 2020 baru mencapai 25 persen dari total Rp 692 triliun.
“Realisasi anggaran insentif usaha baru 14 persen, UMKM 37 persen sementara sektor korporasi 0 persen,” ucapnya.
Abdul Manap kemudian mendesak pemerintah mempercepat realisasi PEN untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Dalam webinar yang mengangkat tema "Mengukur Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Kegiatan Ekspor dan Impor di Masa Pandemi Covid 19", juga hadir sebagai pembicara Ketua Komite Anti Damping Indonesia (KADI) Bahrul Chairil.
Menurutnya, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan terjadinya peningkatan hambatan ekspor impor. Terutama untuk beberapa komoditas pangan dan kesehatan.
"Solusinya, harus meningkatkan kerja sama perdagangan internasional," katanya.
Bahrul juga mengatakan, setidaknya ada 25 lebih negosiasi kerja sama perdagangan yang perlu segera dituntaskan pemerintah.
Ia juga menyebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan agar industri dalam negeri dapat bangkit di tengah pandemi Covid-19.
Antara lain, pengendalian impor yang masuk ke Indonesia dilakukan sebagai bentuk pengamanan pasar dalam negeri dari serbuan barang impor.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang