jpnn.com - Persis di hari terakhir 2021 Presiden Jokowi meneken keputusan memperpanjang masa darurat pandemi Covid-19.
Harapan untuk kembali ke normal pada 2022 harus disimpan dahulu. Indonesia dan negara-negara seluruh dunia masih belum tahu kapan pagebluk ini akan berakhir.
BACA JUGA: Data Kasus Omicron DKI Jakarta dan Pusat Berbeda, Kok Bisa?
Amerika dan Eropa bahkan menghadapi krisis pandemi gelombang ketiga dengan munculnya varian Omicron yang dengan cepat menular ke mana-mana.
Indonesia juga sudah dibobol oleh Omicron dengan ratusan orang di berbagai daerah positif tertulari. Harapan akan kembali ke normal baru tetap menjadi harapan. Normal baru masih jauh dari angan.
BACA JUGA: Dua Tahun Sejak Wabah Wuhan, Begini Suasana Tahun Baruan di China
Lima juta orang di seluruh dunia meninggal dunia menjadi korban. Virus ini menjadi pandemi global yang paling mengguncangkan dunia. Tidak ada satu pun negara yang lolos dari serbuan virus ini. Afrika yang semula dianggap aman, sekarang justru menjadi sarang kemunculan Omicron yang ganas.
China yang sudah terlebih dulu lolos dari pandemi sekarang kembali harus mengisolasi sebagian daerah karena kemunculan varian Omicron.
BACA JUGA: Jokowi Perpanjang Status Pandemi Covid-19, Ini Pertimbangannya
Negara-negara Eropa kembali memberlakukan lockdown terbatas, tetapi kali ini mendapat perlawanan keras dari sebagian masyarakat yang melakukan demonstrasi yang berujung rusuh dan bentrok.
Dua tahun terpenjara di rumah dan terisolasi dari lingkungan sosial terbukti menjadi penderitaan yang tidak tertanggungkan. Manusia sudah bosan dikerangkeng terus-menerus dan aktivitasnya dibatasi hanya di sekitar rumah saja.
Rumah menjadi penjara, dan normal baru menjadi penjara baru.
Pandemi menunjukkan kegagalan politik pemerintahan di seluruh dunia. Rezim politik kalah oleh rezim kesehatan. Kepala-kepala negara populis yang antipendekatan kesehatan dan lebih mengedapankan pendekatan politik akhirnya harus menyerah.
Donald Trump yang antipandemi akhirnya terguling dalam pilpres Amerika Serikat. Boris Johnson di Inggris yang menjadi sekutu terkuatnya juga menyerah kepada rezim kesehatan.
Jair Bolsonaro, presiden Brasil yang terkenal paling angkuh menentang Covid-19, menjadi kepala negara yang terisolasi dari rakyat dan lingkungannya.
Para pemimpin populis itu percaya kepada teori-teori konspirasi seputar pandemi. Mereka menuduh bahwa pandemi ini sengaja dibuat oleh China untuk menjadi senjata perang global. Sampai sekarang, dua tahun berlalu, tuduhan itu belum bisa dibuktikan.
Sampai sekarang masih banyak orang yang percaya kepada teori konspirasi meskipun teori-teori itu belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Rezim politik telah gagal menunjukkan kesaktiannya dalam menghadapi pandemi. Para pemimpin politik harus mengakui bahwa pendekatan politik gagal menghadapi pandemi dan harus menyerah kepada pendekatan kesehatan.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, menjadi badan global yang paling berkuasa dua tahun terakhir. Nama Sekjen WHO Tedros Aghanom Ghebreyesus jauh lebih dikenal ketimbang Sekjen PBB Antonio Guterres.
Kapitalisme global bahkan disebut sudah tamat karena gagal mengatasi pandemi, dan sistem komunisme baru ala China disebut sebagai pemenang dalam perang pandemi dan perang ideologi global ini.
Cara pendekatan komunistis ala China sukses menahan penyebaran pandemi ke seluruh negeri. Penutupan total wilayah Hubei sebagai sentra penularan terbukti efektif menahan penyebaran.
Selama berbulan-bulan Hubei menjadi kamp konsentrasi terbesar dunia dengan diterapkannya lockdown total. Kebijakan ini terbukti efektif.
Sebaliknya, negara-negara kapitalis menerapkan kebijakan setengah hati dan tanggung dalam melakukan lockdown.
Karena kebijakan yang serbatanggung itu pandemi menyebar dengan cepat ke berbagai negara dan menimbulkan bencana global. Negara-negara kapitalis tidak bisa melakukan lockdown total karena bertentangan kebebasan individual.
Sementara itu, China bisa menerapkannya dengan bebas atas nama komunalisme.
Pagebluk global ini kemudian disebut sebagai bukti kemenangan sistem komunisme atas kapitalisme. Pada 1990 Francis Fukuyama memproklamasikan kemenangan kapitalisme atas komunisme setelah ambruknya sistem politik Uni Soviet.
Sekarang, 30 tahun kemudian, Slavoj Zizek, filosof asal Slovenia, berbalik memproklamasikan kemenangan komunisme atas kapitalisme dengan ambruknya sistem kesehatan Amerika Serikat dalam menghadapi pandemi.
Menurut Zizek, pandemi ini menjadi tonggak kemenangan komunisme baru dan mau tidak mau para pemimpin dunia harus mengadopsi sistem komunisme baru itu.
Tata dunia baru atau ‘’the new world order’’ versi kapitalisme lahir setelah ambruknya komunisme. Sekarang telah lahir ‘’the new world order’’ tata dunia baru yang baru pascapandemi.
Pandemi membawa tata politik baru, tata ekonomi baru, dan tata sosial baru. Praktik-praktik sosial yang sebelumnya lazim dilakukan sekarang tidak bisa lagi diterapkan. Di masa pandemi, kita bahkan dilarang bersentuhan dengan orang-orang yang kita sayangi. Di masjid dan di tempat peribadatan bahkan tidak bisa lagi saling bersalaman apalagi berangkulan.
Di masa sebelum pandemi, cinta diwujudkan dalam ciuman, pelukan, atau menunjukkan respek dengan berjabat tangan. Setelah ada pandemi, kita bahkan harus menjauhkan diri dari orang-orang terdekat kita.
Kita tidak bisa lagi dengan bebas berdekatan dengan kerabat. Setidaknya kita harus menjaga jarak 1,5 meter dari kerabat. Konsep kerabat, yang secara harfiah berarti dekat, harus diubah karena pandemi.
Kini, mencintai ditunjukkan dengan menjauhi secara fisik. Virus mungil itu telah mengubah tabiat manusia dan menjungkirkan budaya kita 180 derajat.
Dalam bukunya ‘’Pandemic!: Covid-19 Shakes the World’’ (2021) Zizek mengungkap kepanikan global akibat pandemi yang mengakibatkan keguncangan di berbagai sektor kehidupan manusia.
Zizek melihat masa depan manusia setelah pandemi dengan melihat gejala-gejala yang kini tengah terjadi. Ia menyimpulkan tatanan dunia baru yang baru pascapandemi akan menganut sistem komunisme baru.
Ia mengakui bahwa mesin kapitalisme bekerja sangat kuat untuk mengatasi pandemi. Namun, dunia diam-diam mengakui cara China lebih efektif dalam mengendalikan wabah. Pendekatan komunis yang sentralistis ala China terbukti berhasil menahan penyebaran wabah.
Dengan tangan besi komunisme, China berhasil menekan penularan wabah dengan efektif, lewat pemantauan orang, teknologi aplikasi, kebijakan terpusat, sehingga lockdown dan karantina wilayah.
Cara ini tidak berhasil diterapkan negara-negara lain, seperti Italia atau Amerika, bahkan Indonesia. Negara-negara demokratis itu tidak mempunyai instrumen politik yang totaliter dan sentralistik seperti China, dan karena itu penerapan kontrol tidak bisa maksimal.
Zizek melihat komunisme baru diterapkan di negara-negara demokratis kapitalis melalui peran pemerintah yang sangat masif dalam penanganan pandemi. Mekanisme pasar dan keajaiban ‘’the invisible hand’’ tidak efektif menghadapi pandemi.
Sebagai seorang filosof komunis Zizek terlihat terlalu bersemangat meramalkan kemenangan komunisme baru. Ia tidak terlalu detail dalam menjabarkan konsep komunisme baru. Ia hanya melihat fenomena campur tangan negara dalam penanganan pandemi sebagai gejala komunisme baru itu.
Inggris sangat mengandalkan Sistem Kesehatan Nasional untuk mencegah virus. Amerika hendak menasionalisasi perusahaan pembuat vaksin. Faktor peran negara yang masif di masa wabah inilah yang disebut Zizek sebagai model komunisme baru.
Wabah memang telah memukul dengan telak sendi-sendi kapitalisme. Sistem ekonomi ini membuat alam rusak, ozon menjadi bolong dipicu produksi gila-gilaan yang menghasilkan emisi karbon, hingga berujung pada mutasi gen makhluk renik akibat hilangnya keragaman hayati.
Ancaman kemunculan pandemi baru dalam beberapa dekade mendatang diperkirakan muncul dari cara pengelolaan lingkungan yang sembrono itu.
Kapitalisme yang rakus membuat lingkungan rusak dan bumi makin panas karena global warming.
Bencana lingkungan itulah yang menjadi ancaman baru setelah dunia bisa menyelesaikan bencana pandemi sekarang ini. Bencana lingkungan diperkirakan akan lebih dahsyat dampaknya dan korban akan jauh lebih besar.
Apakah komunisme gaya baru bisa mengatasi bencana gaya baru itu? Atau dunia masih tetap dikuasai kapitalisme baru yang selalu berhasil melakukan penyesuaian? Sejarah bakal membuktikan. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror