jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago menilai hiruk pikuk panggung politik nasional dua bulan terakhir belum memberikan efek yang signifikan terhadap elektabilitas dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Pangi mengingatkan, dua paslon yang ada yaitu Jokowi - Ma'ruf dan Prabowo - Sandiaga harus lebih berhati-hati mengelola komunikasi politik, membenahi manajemen kampanye dan isu agar tidak kontraproduktif serta blunder terhadap elektabilitas masing-masing kandidat.
BACA JUGA: Jika Ahok Dukung PDIP dan Jokowi, Adi: Itu Cukup Sensitif
"Joko Widodo sebagai inkumben sebaiknya fokus saja pada prasasti dan monumen yang sudah dicapainya. Tidak usah terlalu baper dan reaksioner merespons genderang perang yang dimainkan sang penantang," kata Pangi kepada JPNN, Kamis (3/1).
Menurutnya, keuntungan sebagai petahana banyak sekali. Dia mengatakan, sebaiknya petahana fokus saja main pada capaian dan target kerja yang sudah tercapai. Apa yang menjadi prestasi dan kinerja keberhasilan pemerintah bisa tersampaikan dengan baik di publik. "Ujungnya, masyarakat puas," tegasnya.
BACA JUGA: Sudirman Said Serang Jokowi karena Sakit Hati?
Namun, Pangi juga heran mengapa tim petahana belakangan ini sangat gandrung menyerang dengan isu identitas, daripada membuka kotak pandora prestasi maupun capaian kinerja petahana. "Ini jelas wilayah pertempuran yang berbahaya bagi inkumben," jelas direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, itu.
Lebih lanjut dia mengatakan, kesalahan dalam menentukan tema kampanye, reaksi berlebihan terhadap sebuah isu, bahkan pemilihan kata dan diksi yang salah, bisa berdampak buruk pada image kandidat secara langsung.
BACA JUGA: Ini Kata Tim Jokowi soal Batalnya Pelantikan Doni Monardo
Pangi mencontohkan, dalam kasus hoaks Ratna Sarumpaet misalnya, Prabowo Subianto harus menelan pil pahit mendapat sentimen negatif dari publik sebagai akibat salah dalam menentukan sikap.
Artinya, kata dia, sentimen negatif publik terhadap isu sangat tinggi dan dapat dipastikan akan merugikan Prabowo. Begitu juga dalam isu-isu lain seperti Tampang Boyolali yang memberikan sentimen negatif terhadap citra Prabowo. "Bahkan hal ini bisa menggerus elektabilitas sang penantang," ungkapnya.
Sementara untuk kubu Jokowi, lanjut Pangi, sikap reaktif dan reaksioner terhadap sebuah isu dan kritik oposisi juga berdampak negatif. Politik sontoloyo misalnya, direspons negatif dengan tingkat ketidaksukaan mencapai 65 persen berdasar hasil riset Voxpol Center.
Namun di sisi lain, ketika pemerintah fokus pada kinerja publik justru memberikan respons positif. Hal ini bisa dilihat dalam baberapa isu utama seperti penyelenggaraan Asian Games, kunjungan ke korban gempa dan tsunami Palu, gempa Lombok, tsunami Selat Sunda.
Kubu Prabowo juga mendapat insentif secara tidak langsung dari beberapa isu yang dianggap sebagai kelemahan pemerintah. Isu tersebut di antaranya kurs rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 15.000, kasus pembakaran bendera HTI sampai aksi Reuni 212.
Nah, menurut Pangi, probabilitas inkumben memenangi Pilpres 2019 masih sangat besar. "Dengan catatan tetap fokus pada kinerja dan kerja nyata, tidak terpancing untuk memberikan respons dan bersikap reaktif berlebihan merespons atau menyikapi isu yang sengaja didesain dan digoreng tim lawan politik," jelasnya.
Karena itu, lanjut Pangi, sikap reaktif berlebihan ini justru akan mengalihkan fokus pemerintah yang pada akhirnya membuat performa menurun. "Saya tidak tahu apakah tim Jokowi sadar atau tidak, jika situasi ini terus dibiarkan terjadi tentu akan menjadi keuntungan bagi sang penantang di tengah miskinnya narasi kampanye sebagai alternatif yang ditawarkan kepada publik," katanya.
Padahal, ujar dia, banyak kepemilikan isu yang dibahas seperti ketimpangan sosial, keadilan, penegakan hukum, mengurangi kemiskinan, isu pembangunan, isu kesehatan, memberdayakan kelas menengah ke bawah.
"Apakah karena Prabowo kehabisan energi menembak isu di atas sehingga mulai bergeser masuk ke isu yang memantik emosional publik. Coba Pak Prabowo menanyakan bagaimana cara pak Jokowi menjaga dan menegakkan keadilan serta hukum?" katanya.
Pangi mengingatkan bahwa inkumben punya rekam jejak. Namun, sangat disayangkan terjebak pada debat kusir yang tidak substansial, tak berhubungan langsung dengan isu kerakyatan. "Anehnya lagi Jokowi ikut menari mendengar genderang lawan. Jokowi terjebak, masuk pada tempo irama permainan yang dimainkan lawan politik," paparnya.
Dalam pendekatan politik identitas, capres dan cawapres menyajikan narasi yang dangkal, sehingga memakai jalan pintas melupakan perbedatan soal adu program, ide dan gagasan.
Parahnya lagi, kata dia, kubu pemerintah terlihat gamang mem-frame, menyosialisasikan capaian, program dan keberhasilan pemerintah. Menurut Pangi, sebagai inkumben tidak perlu reaksioner, cengeng, baper merespons setiap kritikan atau tuduhan berbau politis yang dituduh sang penantang ke petahana. "Dibawa santai saja. Saya nggak melihat Jokowi yang dulu “gak mikir", "pokoke aku", "rapopo"," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Kubu di Pilpres tak Berani Rangkul Ahok, kok Bisa?
Redaktur & Reporter : Boy