jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan Mendagri Tjahjo Kumolo diduga melanggar konstitusi dan Undang-undang Pilkada terkait keputusannya menunjuk Komjen Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat.
Menurut Pangi, musibah terbesar atau ujian demokrasi adalah ketika Polri dan TNI dijadikan lapak, dan kembali menjadi rebut-rebutan politisi untuk menarik dua institusi tersebut ke gelanggang ranah politik praktis demi memenangkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
BACA JUGA: Agus dan Zulkifli Anggap Penting Angket Iwan Bule
"Roh dwifungsi menjadi hidup kembali, ini sangat berbahaya. Mendagri diduga melanggar konstitusi dan menciderai UU Pilkada," kata Pangi, Minggu (24/6).
Pasal 4, ayat 2 Permendagri nomor 74 tahun 2016, menyebutkan Pj gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau Pj gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam pasal 201 ayat 10 UU Pilkada.
BACA JUGA: Alaska Minta Jokowi Segera Pecat Tjahjo Kumolo
Dia menjelaskan ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Pj gubernur. "Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya, dan ini terkesan dipaksakan," jelasnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu mengatakan yang menjadi pertanyaan sekarang apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karier dan profesional di kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos Pj gubernur.
BACA JUGA: Demokrat Kejar Komjen Iriawan Pakai Angket
Dia memahami alasan Tjahjo menempatkan pati Polri sebagai Pj gubernur Jabar karena pilkada serentak digekar di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di kemendagri habis. Kemudian, Jabar merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa yang rawan konflik sehingga menempatkan pati Polri sebagai Pj gubernur merupakan pilihan terbaik.
Menurut Pangi, memang itu hak prerogatif dari mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara dan dikelola secara amatiran. "Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan regulasi yang dilanggar sesuka hati dan suka-sukanya pemerintah," katanya.
Dia mengatakan wajar saja muncul berbagai pertanyaan yang mengandung unsur kecurigaan di publik seperti mengapa harus pati Polri, apakah betul tidak ada lagi pejabat esolon di Jabar, apakah betul tidak mencukupi. Hal itu, ujar dia, karena ada banyak keganjilan dalam pengangkatan Komjen Irawan tersebut. Menurutnya, kecurigaan itu pantas dan wajar-wajar saja karena ada yang tak lazim dan peristiwa langka setelah reformasi bahwa Pj gubernur dari pati Polri. "Keanehan tersebut adalah Mendagri Tjahjo Kumolo yang merupakan kader PDIP dan PDIP mengusung calon kepala daerah di Jawa Barat dengan latar belakang TNI dan Polri," ungkapnya.
Pangi mengingatkan jangan sampai terkesan Polri terjebak dalam politik praktis. Dia meminta TNI dan Polri netral sebagai prajurit aktif. "Menjaga trayek (khitah) sebagai prajurit profesional bukan prajurit pretorian atau prajurit kuda besi," katanya.
Dia mengatakan, masyarakat meminta dan akan mengawasi agar TNI dan Polri tidak diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis.
Menurutnya, hal ini wajib diwaspadai karena sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana, ada risiko yang tidak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play).
Pihaknya ingin memastikan jangan sampai demokrasi dan pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam pertarungan elektoral pilkada serentak 2018. "Sekali lagi, kalaulah polisi dan tentara sudah jadi rebutan lapak politisi, ini jelas membahayakan demokrasi kita," ungkapnya.
Lebih lanjut Pangi mengatakan konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.
Jangan salahkan para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur nanti menolak hasil proses pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil. Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legawa, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2018.
Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah pertarungan elektoral pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik. "Jangan coba-coba kembali menarik-narik, main mata, atau menjadikan jaringan TNI dan Polri sebagai komoditas politik demi mendulang elektoral kemenangan," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ruhut Sitompul Nasihati Politisi Demokrat, Pedas!
Redaktur & Reporter : Boy