jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Syekh Panji Gumilang telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama (Pasal 156a KUHP) oleh Bareskrim Polri pada tanggal 1 Agustus 2023.
Seketika itu juga Panji dilakukan penangkapan dan penahanan selama 20 hari di Rutan Bareskrim Polri.
BACA JUGA: Geledah Ponpes Al Zaytun-Rumah Panji Gumilang, Bareskrim Sita Banyak Barang Bukti
Penetapan status tersangka dan penahanan Syekh Panji Gumilang, tidak saja menggegerkan dunia pendidikan Pondok Pesantren akan tetapi juga publik.
“Sebab, Pondok Pesantren Al Zaytun merupakan Pondok Pesantren terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah murid puluhan ribu dan kekayaan triliunan rupiah,” kata Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus, Minggu (13/8).
BACA JUGA: Bareskrim Periksa Panji Gumilang Terkait Dugaan TPPU Hari Ini
Petrus mengatakan banyak pihak mempertanyakan apa dasar tuduhan penistaan agama dialamatkan kepada Syekh Panji Gumilang.
“Jika dasar tuduhannya terletak pada beda tafsir tentang pelaksanaan ibadat agama yang dinilai tidak sesuai dengan akidah Islam, maka pertanyaannya ke mana peran negara sebagai penjamin kemerdekaan beribadat sesuai janji UUD 1945,” ujar Petrus Selestinus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.
BACA JUGA: Tanggapi Pernyataan Rocky Gerung, Petrus Selestinus Singgung Ancaman Terhadap Etika Bernegara
Petrus mempertanyakan apakah karena berbeda pelaksanaan ibadat agama dan kepercayaannya itu, lantas Syekh Panji Gumilang dikategorikan sebagai telah menista agama.
Dia menyebut UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren membuka ruang bagi Pesantren untuk tumbuh dan berkembangnya tradisi dan kekhasan di setiap Pesantren.
Keberadaan Pondok Pesantren Al Zaytun di tengah masyarakat dengan kekhasan dan tradisinya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin, melahirkan insan yang beriman, berkarakter, berkemajuan dan cinta tanah air berdasarkan tradisi dan kekhasannya sesuai dengan UU Pesantren.
Ke Mana Peran Negara
Petrus mengatakan konstitusionalitas komitmen negara menjamin kemerdekaan menjalankan ibadat agama bagi tiap-tiap pemeluknya, justru absen.
Menurut Petrus, negara malah dapat dinilai sebagai pelaku dalam membatasi kemerdekaan melaksanakan ibadat agama dengan menuduh Syekh Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun sebagai penista agama.
Petrus mengatakan negara tidak boleh bertindak sebagai pihak yang mengekang kemerdekaan beribadat terhadap Syekh Panji Gumilang.
Sebab, sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun, Syekh Panji Gumilang dipastikan menjalankan visi UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dengan tradisi dan kekhasan yang ditumbuhkembangkan Pondok Pesantren Al Zaytun dalam menciptakan insan beriman, berkarakter dan cinta tanah air.
Dalam kasus Syekh Panji Gumilang, komitmen negara "menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.”
Hal itu, kata Petrus, dipertanyakan publik apakah Syekh Panji Gumilang sedang dikriminalisasi melalui politisasi hukum.
Pertanyaan publik sangat logis, karena kebebasan memeluk agama dan kemerdekaan tiap penduduk untuk melaksanakan ibadat agamanya harus berada dalam satu napas, berjalan seiring dalam kesetaraan.
“Tidak boleh hanya satu diberikan dan dijamin sementara yang lain diabaikan, dibatasi atau diingkari,” ujar Petrus Selestinus.
Artinya ketika negara menjamin kebebasan memeluk agama, maka pada saat yang sama negara harus konsisten menjamin pula kemerdekaan melaksanakan ibadat agama sesuai amanat UUD 1945.
“Sebab, kedua-duanya tidak boleh dipisahkan atau saling meniadakan. Harus seiring, setara dan sejalan dalam bobot pelaksanaannya,” ujar Petrus.
Ingkari Komitmen Negara
Petrus mengatakan tidak beralasan hukum bagi Bareskrim Polri melakukan tindakan kepolisian terhadap Syekh Panji Gumilang atas alasan ‘penistaan agama’ ketika pelaksanaan ibadat agama terdapat ritual yang berbeda sebagai sebuah tradisi dan kekhasannya.
Menurut Petrus, apa yang dilakukan oleh Syekh Panji Gumilang berbeda dengan yang dilakukan kelompok lain atau sebaliknya kelompok lain berbeda dengan Syekh Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al Zaytun. Itu adalah suatu keniscayaan konstitusi yang menjamin kemanjemukan tradisi.
UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, menegaskan Pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin, melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air serta berkemajuan berdasarkan tradisi dan kekhasannya.
Sebagai sebuah Pondok Pesantren, maka Pondok Pesantren Al Zaytun berhak menumbuhkembangkan kekhasan dan tradisinya yang berkarakter toleran dan bervisikan perdamaian yang tentu berbeda dengan tradisi, kekhasan dan karakter Pondok Pesantren lainnya, sebagai bagian dari dinamika perkembangan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam kehidupan dunia Pesantren moderen.
Pada tahap ini tindakan kepolisian Bareskrim Polri dapat dinilai bertolak belakang dengan posisi Negara sebagai penjamin kemerdekaan melaksanakan ibadat agama.
Di sini kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadat menurut agama telah diciderai oleh tindakan kepolisian yaitu menetapkan status tersangka dan menahan Syekh Panji Gumilang.
Kemerdekaan Ibadat Satu Napas
Petrus mengatakan antara kebebasan memeluk agama dan kebebasan melaksanakan ibadat menurut agama dan keyakinan kepercayaan. Keduanya harus berada dalam satu nafas dan dalam satu kesatuan sikap yang tidak dipisahkan, karena menyangkut pikiran dan sikap sesuai hati nurani pelaksananya.
Ketika seorang melaksanakan ibadat agamanya tanpa dihalangi oleh siapapun, itu berarti kebebasan memeluk agamanya dijamin Negara dan sebaliknya manakala seorang melaksanakan ibadat agamanya dihalangi, itu berarti kebebasan memeluk agamanya bermasalah dan di situlah Negara harus hadir demi menjamin pelaksanaan ibadat agamanya itu.
Oleh karena itu, ketentuan pasal 28E dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, tidak boleh ditafsir lain selain dimaknai sebagai pengakuan atas kebebasan memeluk agama (sebagai hak) dan kemerdekaan melaksanankan ibadat (sebagai jaminan atas hak) oleh Negara bagi masing-masing pemeluk agama, tidak boleh dikurangi apalagi ditiadakan.
Syekh Panji Gumilang telah dikenakan pasal berlapis yaitu pasal 156a KUHP tentang penistaan agama, berita bohong dan ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. pasal 45A ayat (2) jo. pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Ada apa di balik ini semua. Mari kita lihat perjalanan proses hukum ke depan sampai selesai pembuktian di Pengadilan secara terbuka dan adil," ujar Petrus Selestinus.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari