jpnn.com, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme nampaknya akan kian molor dari yang ditargetkan. Pasalnya, dalam melakukan perumusan terdapat kendala soal pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Hal itu diungkapkan anggota Pansus RUU Terorisme dari Fraksi partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.
BACA JUGA: Revisi UU MD3 Jadi Prioritas Tertinggi DPR
”Jika belum rampungnya pembahasan RUU Terorisme karena rumitnya perumusan pelibatan TNI,” ungkap Arsul Sani dalam diskusi yang mengusung tema Pengintegritasan HAM dalam RUU Terorisme, di Media Center DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/3).
Menurut Arsul, hal tersebut harus diperbaiki dan merujuk pasal 7 UU TNI. Sebab, bila TNI diberi kewenangan sebelum peristiwa terjadi, maka akan melakukan operasi intelejen, sementara TNI bukan penegak hukum.
BACA JUGA: Panglima: Pejabat Baru Harus Tingkatkan Kinerja
”Jadi, kita masih sulit dalam merumuskan pelibatan TNI dalam RUU tindak pidana terorisme. Dimana kalau TNI diberi kewenangan bertindak sebelum peristiwa terjadi, maka akan melakukan operasi intelejen. Sementara TNI bukan penegak hukum. Itulah antara lain yang perlu dirumuskan,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, Polri mengakui jika belum ada pasal yang mengatur perbuatan persiapan terorisme. Misalnya, baru membeli bahan peledak, kabel listrik, besi, dan sebagainya apakah termasuk dalam kategori tindakan terorisme.
BACA JUGA: Fraksi PDIP DPR Gak Mau Gaduh Lagi
”Apakah kita mau seperti Amerika Serikat yang melakukan pendekatan perang (Patriot X, Red), karena upaya pencegahan yang dilakukan AS sangat besar,” ujarnya.
Sekjen Partai Kakbah itu menuturkan, pendekatan yang dilakukan Indonesia belum jelas. Untuk itu kalau mau melakukan pendekatan hukum pidana tetap harus menjunjung tinggi HAM.
Padahal, lanjutnya, di mana-mana yang namanya UU Terorisme itu bersifat darurat (lex specialist, Red) dengan memberi kewenangan upaya paksa untuk penggeledahan, penyitaan, penahanan dan sebagainya.
”Kewenangan itu yang harus dikritisi bersama dengan perlindungan HAM lebih baik melalui pengawasan Komisi III DPR RI,” tambahnya.
Demikian pula, masih menurut Arsul, soal peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga mesti dipertegas. Misalnya, Densus 88 tetap ada pada kepolisian, tapi yang menggerakkan tetap atas instruksi BNPT.
”Perlunya tim pengawas terorisme oleh Komisi III DPR RI dengan melibatkan peran serta masyarakat,” tambahnya.
Pakar Hukum Pidana UII Jogjakarta, Muzakir mengatakan, jika perlunya revisi UU No 15 tahun 2003 tersebut khususnya terkait pasal yang menyebut ‘Ke-alpaan’ yang menjadikan seseorang bisa dikenai sekaligus menjadi korban terorisme.
Mengapa? Karena yang namanya terorisme itu harus dengan kesengajaan, perencanaan. ”Norma pidananya itulah yang harus diperbaiki secara akademik,” jelasnya.
Selain itu, kata Muzakir, pemberantasan terorisme juga harus diperbarui dengan penanggulangan terorisme. Sebab, kalau pemberantasan itu sebagai pendekatan ‘setengah perang’. Sedangkan penanggulangan lebih untuk mencegah dimana penegakan hukum itu harus menghargai HAM dan berkeadilan.
”Tindak terorisme itu normanya tegas sebagai instrumentatif melindungi HAM sehingga sanksi pidananya juga harus rasional,” pungkasnya. (aen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tamsil: Saya Siap Dilaknat Allah Jika Terlibat e-KTP
Redaktur & Reporter : Adil