Masih jelas di ingatan Lamberti Faan apa yang terjadi pada suatu pagi di bulan September, tiga tahun lalu.
Sekelompok orang berseragam tentara memasuki kampungnya di Maybrat, memburu kelompok sipil bersenjata yang dianggap separatis.
BACA JUGA: Orang Dekat Prabowo Beri Sinyal Fahri Hamzah jadi Menteri Perumahan
Tiga hari kemudian, Lamberti dan keluarganya memilih mengungsi demi keselamatan dirinya.
"Kami berusaha menyelamatkan diri," ujarnya.
"Karena kami tahu, kami belajar dari saudara-saudara kami di pegunungan, bagaimana jika konflik terjadi, dan pendekatan yang dilakukan militer seperti apa," tutur Lamberti.
"Yang terjadi dengan rumah saya, sekarang ditempati sebagai pos militer."
BACA JUGA: Pak Prabowo, Simaklah Komitmen Jerry Hermawan Lo Ini, Semuanya Demi Ketahanan Pangan
Sekarang Lamberti tinggal di tempat pengungsian di Sorong.
Lamberti hanyalah satu dari sekitar seratus ribu warga Papua yang mengungsi karena kehilangan rumahnya dalam beberapa tahun terakhir karena konflik.
"Jadi kami harus kembali memulai semuanya lagi dari nol. Kami tinggal di tempat yang baru dan menghadapi banyak masalah, terutama yang berkaitan dengan hak-hak dasar kami seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi," jelasnya.
Beberapa pengamat dan aktivis tidak yakin konflik puluhan tahun di Papua Barat akan segera mereda, setelah pemerintah Indonesia memperketat kontrol dan menurunkan lebih banyak pasukan untuk memerangi gerakan kelompok sipil bersenjata.
Selain itu, ini adalah pertempuran yang kebanyakan terjadi dalam senyap.
Indonesia pernah memadamkan saluran internet saat terjadi gejolak di Papua yang dituding sebagai upaya menutup akses informasi.
Menurut Lamberti ada juga upaya menutup-nutupi yang dilakukan pemerintah setempat untuk kasus pengungsi.
"Pejabat-pejabat yang ada di Maybrat, mereka berupaya untuk membangun narasi ... bahwa Maybrat sudah baik -baik saja, sudah tidak ada konflik, sudah tidak ada pengungsi," kata Lamberti.
"Itu omong kosong."Dalam cengkeraman krisis kemanusiaan
Skala krisis kemanusiaan di Papua memang sulit diukur, tetapi beberapa pengamat mengatakan hak mereka sudah diabaikan.
Frits Ramandey, Komisioner Komisi Nasional HAM Papua mengatakan pemerintah Indonesia "tidak mengakui" orang-orang yang kehilangan tempat tinggalnya sebagai "pengungsi."
"Artinya bahwa pemerintah melakukan pembiaran, dan saya ingin menegaskan kembali, pembiaran itu adalah salah satu unsur pelanggaran hak asasi manusia," kata Frits.
Awal tahun ini, Komite HAM PBB mengeluarkan laporan yang menyebut bahwa PBB "prihatin tentang laporan yang sistematis mengenai penyiksaan dan bentuk lain kekerasan yang tidak manusiawi dan merendahkan … secara khusus pada Orang Asli Papua"
Veronica Koman, pengacara HAM yang hidup eksil di Australia, mengatakan "krisis kemanusiaan di Papua tidak pernah seburuk ini sebelumnya."
"Di dunia yang normal, apa yang terjadi ini sebuah bencana," ujarnya.
"Tapi kita tidak mendengarnya, karena organisasi internasional secara de facto dilarang masuk ke Papua."
Di sisi lain, kelompok sipil bersenjata yang dianggap memberontak juga melakukan berbagai tindak kejahatan, seperti menyerang dan membunuh pekerja kemanusiaan dan warga sipil, juga membakar sekolah-sekolah, karena menganggap sudah mengindoktrinasi anak-anak Papua.
Di jalan-jalan Jayapura, ibu kota provinsi Papua, banyak orang Papua mengutuk kekerasan tersebut tapi mengakui situasi mereka tak kalah sulitnya.
"Kalau [pemerintah] tidak mendengarkan, tapi langsung mengambil kebijakan yang tidak menyenangkan, … ya karena kita manusia, sebagai manusia, masyarakat akan terpancing emosi untuk melawan balik, melakukan balasan," kata Aki Kobak, warga Jayapura
Siklus kekerasan telah membakar sumbu kebencian kedua belah sisi.
Dalam sebuah video yang beredar awal tahun ini tentara indonesia terlihat memukuli orang papua yang berdarah di dalam tong dengan tangan terikat.
Tiga belas tentara kemudian ditangkap dan TNI mengeluarkan pemintaan maaf.Perlakuan yang berbeda
Namun, hal itu tidak memperlambat kehadiran militer yang semakin meningkat di Papua.
Sinyal lain kehadiran militer semakin banyak di Papua merujuk pada laporan adanya pengerahan tentara Indonesia untuk memastikan proyek pembangunan di Merauke dapat terus berlanjut tanpa perlawanan.
Bulan lalu, alat-alat berat mulai menebang dua juta hektar lahan di Merauke untuk dijadikan sawah yang merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk mengerek produksi pangan domestik.
Sejumlah kelompok pemerhati dan pembela lingkungan menyebutnya sebagai proyek penggundulan hutan terbesar di dunia.
Pemilik tanah adat sudah lama menolak pembangunan skala besar, yang menurut mereka merusak lingkungan dan cara hidup mereka.
Papua yang kaya akan emas, tembaga, minyak, dan tanah yang subur, juga merupakan rumah bagi salah satu tambang emas terbesar di dunia.
Namun, hanya sedikit warga Papua yang merasa melihat manfaatnya.
Mahasiswa Hermin Jubelin Waga mengatakan, "orang Papua mungkin selama ini sudah di-anak tiri-kan."
"Kenapa kalian menerima Papua masuk ke Indonesia sebelumnya? Apa alasan awalnya selain sumber daya alam kami? Apa alasan kalian mau kami masuk menjadi bagian dari Indonesia kalau kami tidak diperlakukan seperti yang seharusnya?"
Usmain Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan degradasi lingkungan merupakan "ancaman eksistensial bagi masyarakat Papua."
"Hutan di Papua merupakan satu dari tiga paru-paru dunia yang tersisa," katanya
Mahasiswa lainnya, Alex Majiwi, mengatakan "di Papua ini kita tidak perlu penambahan militer, kita butuh Pendidikan gratis, dan Kesehatan."Dari Jokowi ke Prabowo
Meskipun ada kebijakan otonomi khusus untuk provinsi di Pulau Papua, masyarakat awam mengatakan bahwa layanan dasar pun masih kurang.
"Kehidupan orang Papua berbeda sekali dengan mereka yang hidup di barat Indonesia, di pulau Jawa," tutur Hermin.
Meskipun ada dorongan infrastruktur dan investasi, pendekatan ekonomi dan kesejahteraan, Presiden Joko Widodo dianggap belum meredakan kerusuhan atau meningkatkan standar hidup di Papua agar setara dengan provinsi lainnya.
"Saya pikir warisan Presiden Jokowi di Papua adalah kekecewaan dan pengkhianatan ... jumlah pengungsi dan intensitas konflik tidak pernah setinggi ini sebelumnya," kata Veronica.
Bulan Oktober ini, Indonesia bersiap untuk melantik Presiden baru, sosok dengan jejak kelam di masa lalu.
Prabowo Subianto, seorang pria yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste dan Papua, dikhawatirkan akan membawa konflik di tanah Papua meningkat lebih jauh.
Namun, mereka yang kami ajak bicara berharap Prabowo dapat membawa perubahan, meskipun ada tantangan.
Apyami Pahabol, mahasiswa di Jayapura mengatakan "kami orang Papua tahu, dia [Prabowo] orangnya tegas"
"Saya sendiri berharap saat dilantik, dia datang ke Papua dan melihat, memberikan kebebasan, khususnya di daerah konflik," kata Apyami.
Dari pasar di Jayapura, mama pemilik kios Yustina Nari mengatakan "saya harus katakan bahwa dia [presiden yang baru] harus memperbaiki banyak hal yang ada di sini."
"Sepertinya sudah ada perampasan hak … ia harus melindungi hak-hak orang Papua," kata Yustina.
Usman Hamid dari Amnesty International mengatakan pemerintahan Prabowo tidak mungkin mengubah kebijakan Indonesia terhadap Papua secara drastis, bahkan jika kekhawatiran atas masa lalunya masih ada.
Sebaliknya, ia khawatir hubungan yang tidak bersahabat antara Prabowo dengan media dapat memperketat akses ke wilayah tersebut.
"Dia bukan orang yang senang dengan peran jurnalis dan peran masyarakat sipil… Papua sangat terisolasi dari dunia dan masyarakat internasional," katanya.
Prabowo harus berbuat banyak jika ia ingin memperkuat dukungan di antara masyarakat Papua.
Ia menjanjikan makan siang gratis untuk para siswa, tetapi di sebuah sekolah di daerah terpencil di sekitar Danau Sentani, program ini dianggap sebagai basa-basi belaka.
Seorang kepala sekolah, Agnes Katarina Tukayo mengatakan "banyak anak-anak Papua, terkadang sampai kelas besar tetap tidak bisa membaca."
Dia menginginkan fasilitas yang lebih baik, akses ke teknologi seperti laptop, dan lebih banyak guru.
Rekan guru lainnya, Fransiscus Wena mengatakan "selama kurang lebih 10 tahun terakhir, ada guru yang meninggal tidak diganti. Ada yang pensiun tidak diganti. Ada yang pindah, tidak diganti. Jadi guru semakin habis."Dialog sebagai solusi
Situasi mengerikan di Papua sering kali sulit untuk menarik perhatian internasional.
Upaya aktif pemerintah Indonesia untuk mendekati negara-negara tetangga di Pasifik seperti Papua Nugini membuat upaya beberapa negara Melanesia untuk menarik perhatian ke Papua menjadi teredam.
Fiji dan Papua Nugini belum mendapatkan misi hak asasi manusia PBB ke Papua dan upaya berulang kali oleh Vanuatu untuk membicarakan situasi tersebut telah gagal untuk menarik perhatian global.
Terutama saat konflik berkecamuk di Timur Tengah.
Ironisnya, Indonesia adalah salah satu pendukung terdepan kemerdekaan Palestina.
Satu hal, yang menurut Usman Hamid, merupakan "refleksi dari kemunafikan kebijakan luar negeri Indonesia."
Kembali ke Sorong, Lamberti hanya berharap untuk didengar, sehingga orang-orang lain yang senasib dengannya bisa memperoleh bantuan yang diperlukan.
"Pesan saya untuk negara Indonesia, mereka harus mengakui, mengakui bahwa di Maybrat dan Papua secara umum itu sedang terjadi krisis kemanusiaan ... bahwa di Papua itu sedang tidak baik-baik saja."
"Mereka harus menyelesaikan ini dengan berdialog untuk mencari akar masalahnya," tutup Lamberti.
Militer Indonesia secara umum membantah tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI mengatakan kepada ABC bahwa pemerintah Indonesia "selalu bekerja sama erat dengan semua badan PBB yang relevan dengan tujuan untuk memberi mereka gambaran yang komprehensif tentang perkembangan terkini di Papua Barat".
Kedutaan Besar Indonesia di Canberra juga dihubungi untuk dimintai komentar.
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Setidaknya 10 Orang Tewas Akibat Badai Milton di Florida