jpnn.com, JAKARTA - Satu per satu ilmuwan Indonesia mulai angkat bicara menanggapi sikap tegas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya yang melarang peneliti asing orang utan asal Belanda, Eric Meijaard dkk masuk ke dalam kawasan konservasi di Indonesia.
Menurut Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN RI, Dr. Wanda Kuswanda, salah satu riset Meijaard yang disebarkan di media massa menggunakan metodologi pemodelan dengan prediksi asumsi dan polarisasi secara general.
BACA JUGA: Guru Besar IPB Peringatkan Kerja Peneliti Asing soal Orang Utan, NKRI Harus Dijaga!
Selain itu, semua penulis dalam artikel tentang orang utan tersebut adalah peneliti asing, tidak melibatkan satupun peneliti lokal. Para peneliti asing itu tidak melakukan ground check langsung di Indonesia dan triangulasi data dengan kondisi riil orang utan di lapangan.
''Jadi artikel itu tidak memasukkan variabel kebijakan dan upaya-upaya lapangan konservasi orang utan yang telah dilakukan di Indonesia. Mereka hanya menggunakan variable yang mengakibatkan kecenderungan bahwa orang utan akan punah dengan sistem pemodelan yang dibangun. Ini jelas tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan, tetapi fatalnya menjadi dasar tulisan opini lepasnya di media,'' kata Wanda yang juga sudah dua dekade menjadi peneliti orang utan, Sabtu (24/9).
BACA JUGA: Alba si Orang Utan Albino dan Unyu Akhirnya Reunian di Hutan
Dia mengatakan kekurangan metode pemodelan yang digunakan adalah tidak memasukkan variabel yang kontinyu seperti intervensi kebijakan, program konservasi, pemulihan habitat, mitigasi konflik, pemberdayaan masyarakat sekitar, dan lainnya yang mungkin memiliki kontribusi signifikan pada model yang dihasilkan.
Peneliti asing juga tidak melakukan ground check lapangan sama sekali untuk memvalidasi asumsi model tersebut.
BACA JUGA: KLHK Kembali Lepasliarkan Orang Utan di Taman Nasional Tanjung Puting
''Misalnya, ada dibangun fasilitas PLTA di habitat orang utan, bukan berarti orang utan di situ akan pasti mati. Kenyataannya di lapangan meski ada PLTA, orang utannya masih ada. Namun, karena tidak ada ground check ke lapangan, maka diasumsikan bahwa orang utannya di sana tidak ada lagi,'' kata Wanda.
Hasil riset terbaru Wanda bersama dua ilmuwan Indonesia lainnya dari Universitas Indonesia dan IPB, telah terbit pada jurnal internasional Q1 pada Global Ecology and Conservation, dengan judul riset 'The estimation of demographic parameters and a growth model for Tapanuli orangutan in the Batang Toru Landscape, South Tapanuli Regency, Indonesia.
'Dia memastikan risetnya itu juga menggunakan metodologi pemodelan seperti Meijaard, tetapi dilengkapi variabel menyesuaikan fakta lapangan.
"Jadi kami ground check ke lapangan. Hasil riset ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda karena ternyata laju pertumbuhan populasi orang utan Tapanuli masih bisa meningkat meskipun dengan laju yang lambat seiring dengan kebijakan-kebijakan dan program konservasi orangutan yang ada,'' tegas Wanda.
Wanda juga meyakini sikap tegas KLHK terhadap para peneliti asing tersebut sudah melalui pertimbangan matang.
"Bagi yang tidak paham masalahnya pasti dianggap pemerintah intervensi, padahal bisa saja pemerintah ingin melindungi data-data biodeversity untuk tidak disalahgunakan dengan menggunakan analisis yang kurang tepat dan bisa merugikan Indonesia oleh peneliti asing,'' lanjut Wanda.
Terkait metodologi penelitian Meijaard juga mendapat tanggapan dari akademisi pusat studi perubahan iklim, Dr. Anto Ariyanto.
Dia mengatakan ada substansi yang coba digeser dalam penelitian Meijaard, seolah-olah populasi orang utan Indonesia menurun bahkan akan musnah dan membuat hasil riset itu seakan mutlak paling benar.
''Padahal setiap penelitian bisa disanggah kapan saja, apalagi dalam metodologinya ternyata hanya pemodelan menggunakan prediksi dan asumsi tanpa kelapangan sama sekali. Kelemahan metode yang digunakan hanya menggambarkan tren tutupan lahan dan populasi orangutan tanpa melihat variabel lain yang berkenaan dengan upaya menyelamatkan lingkungan dan orang utan di Indonesia,'' sambung alumni Pascasarjana IPB ini.
Anto mengatakan bisa saja di lapangan ada intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, sehingga memengaruhi kondisi sebenarnya terkait populasi orang utan. Namun, dia menyesalkan hal itu justru diabaikan oleh periset yang menggunakan metode pemodelan.
''Meminta adu data juga harus hati-hati dengan peneliti seperti ini, karena harus jelas dulu niatnya apa. Setiap peneliti pasti menyimpan misinya masing-masing. Meijaard harusnya melakukan tringualasi data, uji data dengan fakta lapangan, tetapi risetnya tidak melakukan itu sama sekali. Jadi hanya mengandalkan prediksi dari asumsi-asumsi dan polarisasi yang bisa saja berbeda jauh dari kondisi nyata,'' tegasnya.
Hal senada disampaikan Prof. Ris. Haruni Krisnawati. Profesor Haruni mengatakan hasil penelitian Meijaard dengan metode pemodelan tanpa groundcheck cenderung ke arah membangun framing.
Meijaard tidak mengumpulkan data langsung, hanya mengandalkan metode asumsi dan generalisasi yang variabelnya dibatasi sesuai kebutuhan peneliti.
''Tentu hasilnya akan berbeda dengan peneliti lainnya yang mengambil langsung data lapangan. Pendekatan pemodelan idealnya bisa memasukkan variabel-variabel yang relevan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, termasuk jika ada intervensi kebijakan dan skenario mitigasi yang ada,'' jelas Haruni.
Dia mengatakan bagi orang awam mungkin mudah mengatakan seharusnya pemerintah cukup publish saja hasil riset ilmiah, untuk membantah hasil riset Meijaard.
Namun, sambungnya, kondisinya tidaklah semudah itu karena hasil riset untuk terbit di jurnal internasional, biasanya butuh waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak sedikit.
Menurutnya, tidak ada yang salah dengan surat dari KLHK karena pada dasarnya para peneliti asing itu memang tidak berada di Indonesia
''Kalau lihat dari surat KLHK, sebenarnya tidak ada pencekalan karena si penelitinya sendiri tidak ada di Indonesia, melainkan bersifat imbauan di internal KLHK untuk lebih hati-hati menjaga kedaulatan negara. Karena banyak juga yang datang ke kawasan konservasi, izinnya berwisata tetapi ternyata ambil data-data untuk publikasi ilmiah demi kepentingan pribadi,'' kata Haruni.
Peneliti Ahli Utama kehutanan ini mencontohkan pihaknya baru saja menerbitkan artikel di jurnal internasional Q1 untuk mematahkan hasil riset peneliti asing tentang kerugian lingkungan akibat emisi carbon di lahan gambut.
Sebelumnya Indonesia disebut sangat merugikan sebagai negara penghasil emisi terbesar dari kebakaran gambut tropis, tetapi setelah diriset lapangan selama 2019-2021 ternyata angkanya bisa sepertiganya dan akan mengoreksi asumsi sebelumnya.
''Ini sudah dipublikasikan di jurnal internasional Q1 Science of the Total Environment dengan judul carbon balance of tropical peat forests at different fire history and implications for carbon emissions. Angka ini sudah dipakai mengoreksi nilai emisi karhutla sebelumnya. Jadi seperti inilah, kami para peneliti Indonesia tidak boleh menyerah dengan para peneliti asing. Boleh bermitra tetapi harus dengan prinsip kehati-hatian dan niat baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan manusia,'' kata Haruni.
Diketahui Meijaard membuat tulisan opini yang mengutip hasil risetnya sendiri tentang penurunan populasi orang utan di Indonesia, bahkan mengarah pada kepunahan.
Namun, berdasarkandari data KLHK di lapangan pada 2022 masih terjadi kelahiran dua ekor orang utan di Indonesia.
Melalui berbagai koreksi kebijakan, populasi orang utan di Indonesia juga telah mengalami peningkatan signifikan dari 1.441 individu orang utan di 2014 menjadi 2.431 individu di 2022. Data-data penting itu diabaikan Meijaard dkk baik dalam riset maupun tulisan opininya.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi