Pariwisata Bisa Jadi Core Business Indonesia di Masa Depan

Selasa, 13 September 2016 – 16:51 WIB
Menteri Pariwisata Arief Yahya. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA – Futurolog Alvin Toffler yang ngeboom dengan buku Future Shock, The Third Wave, dan Powershift melihat masa depan seolah sedang berada di depan layar film saja. Jelas, detail, deskriptif, masuk nalar, dan sulit terbantahkan.

Maka, ketika pria kelahiran New York, Amerika Serikat (AS) itu ini meluncurkan karya-karyanya yang mengupas revolusi digital, revolusi komunikasi, dan singularitas teknologi, tidak banyak yang menentangnya. Bahkan tidak ada yang menganggapnya seperti sedang mimpi di siang bolong!

BACA JUGA: Produksi Sigaret Kretek Tangan Anjlok 50 Persen

Menteri Pariwisata Arief Yahya yang sudah khatam membaca The Third Wave pun fasih menguraikan pengelompokan gelombang peradaban menurut buku terbitan 1980 itu. Arief menjelaskan, ada tiga gelombang peradaban manusia.

Gelombang pertama adalah era agrikultur antara 800 Sebelum Masehi (SM) sampai 1.500 M. Gelombang kedua adalah era manufaktur pada 1.500-1970 Masehi yang ditandai dengan masyarakat industri, lahirnya pabrik-pabrik, hingga imperialism dan kolonialisme.

BACA JUGA: Minat Agen Travel Garap Turis Mancanegara Masih Rendah

“Gelombang III, era teknologi 9nformasi (1970-2000), yang saat ini sudah berada di sini,” kata Arief.

Bagaimana dengan saat ini, abad ke-21 dan ke depan? Arief  langsung menyebut era industri kreatif atau creative economy yang kini lebih dikenal dengan istilah ekonomi kreatif. Pariwisata pun masuk dalam industri kreatif.

BACA JUGA: Bank Jatim Alami Penurunan Permintaan KPR

“Alvin Toffler sebenarnya sudah memprediksi, di akhir gelombang III itu ada era industri rekreasi (hospitality, recreation, entertainment). Ke depan, industri pariwisata yang didukung oleh industri kreatif yang sudah memiliki commercial value akan menjadi primadona,” ungkap menteri asli Banyuwangi itu.

Kondisi itu seolah sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo tentang pentingnya core economy atau core business yang pas buat negara. Presiden Jokowi pun seusai menjalani kunjungan kerja (kunker) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Tiongkok dan ASEAN di Laos pekan lalu, langsung mengumpulkan para menteri untuk membahas hasil lawatannya.

Lantas, apa keunggulan terkuat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Industri apa yang bisa bersaing dan memenangi pertarungan di era global saat ini? Industri apa yang harus didukung oleh semua lini dan akan menjadi andalan Indonesia di masa depan?

Dengan memiliki core business itu, konsentrasi presiden pun tidak terlalu melebar dan bisa lebih fokus untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.

Data perolehan devisa Indonesia menurut lapangan usaha, jenis komoditas minyak dan gas bumi cenderung turun drastis. Migas pada 2013 menghasilkan USD 32,6 miliar. Pada 2014 turun menjadi USD 30,3 miliar, dan pada 2015 turun lagi drastis menjadi 18,9 M.

Penyebabnya, harga minyak dunia juga terjun bebas, dari USD 100 per barel, menjadi USD 60, turun lagi USD 50, dan terakhir USD 36. “Maka sudah bisa ditebak, penyebabnya adalah harga jual jatuh, dan target lifting sulit dikejar,” ungkap Arief.

Begitu pula dengan komoditas batu bara atau coal. Pada 2013 devisa dari batu bara masih di angka USD 24,5 miliar. Namun pada  2014 turun menjadi USD 20,8 miliar, dan pada  2015 makin drastis sehingga tinggal USD 16,3 miliar saja.

Sedangkan minyak kelapa sawit (CPO) menghasilan USD 15,8 miliar pada 2013, dan sempat naik menjadi USD 17 miliar pada 2014. Namun, angkanya  turun lagi pada 2015 ke USD 15 miliar.

Hal itu berbeda dibandingkan pariwisata yang terus mengalami kenaikan dalam perolehan devisa. Yakni USD 10 miliar pada  2013, lalu naik ke USD 11 miliar pada 2014, dan menanjak ke angka USD 12,6 miliar pada 2015. “Dan cenderung naik, karena industri pariwisata itu sustainable,” ujar Arief.

Masih ada komoditas lain di jajaran 10 besar yang semuanya turun. Sebut saja, karet olahan, pakaian jadi, alat listrik, makanan olahan, tekstil, kertas dan barang dari kertas, kayu olahan dan bahan kiia. Performance-nya, semua sedang lesu dan turun.

“Lagi-lagi pariwisata yang paling memberi harapan untuk masa depan negeri ini. Karena itu tidak salah, jika menempatkan Pariwisata sebagai core business buat negeri ini,” kata Arief.

Ia menegaskan, pariwisata sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB), devisa dan lapangan kerja yang paling mudah dan murah. Untuk  PDB, pariwisata menyumbangkan 10 persen dari PDB nasional, dengan nominal tertinggi di ASEAN.

“PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8 persen dengan trend naik sampai 6,9 persen, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan,” katanya.

Devisa pariwisata juga mencapai USD 1 Juta yang menghasilkan PDB US$ 1,7 Juta atau 170 persen. “Tertinggi dibanding industri lainnya,” kata dia.

Soal devisa, pariwisata sudah nomor 4 penyumbang devisa nasional, atau kontribusinya mencapai 9,3 persen dibandingkan industri lainnya. Pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata pun tertinggi, yaitu 13 persen dibandingkan industri minyak gas bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit yang pertumbuhannya negatif. “Biaya marketing yang diperlukan hanya dua persen dari proyeksi devisa yang dihasilkan,” ungkap Arief.

Soal ketenagakerjaan, pariwisata menyumbangkan 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau sebesar 8,4 persen secara nasional dan menempati urutan ke-4 dari seluruh sektor industri. Dalam penciptaan lapangan kerja, sektor pariwisata tumbuh 30 persen dalam waktu 5 tahun.

Pariwisata juga menjadi pencipta lapangan kerja termurah, yaitu dengan USD 5.000/satu pekerjaaan. Sedangkan rata-rata industri lainnya sebesar USD 100.000/satu pekerjaan.

Tahun 2015, pertumbuhan turisme Indonesia juga lebih besar dibandingkan Singapura dan Malaysia. Namun, angka pertumbuhan pariwisata Malaysia turun 15,7 persen, sedangkan Singapura naik 0,9 persen.

Indonesia pun sangat percaya diri dengan 10,3 persen kenaikan, menjadi 10,4 juta wisman. “Itu menunjukkan, performance kita tidak terlalu buruk, growth dan suasana industrinya, sangat bergairah, sangat agresif dan terus bertumbuh,” ungkapnya.(adv/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Angka-angka Pencapaian Program Tax Amnesty, Masih Jauh


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler