jpnn.com - JAKARTA - Keinginan pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden di dalam KUHP terus menuai penolakan. Salah satunya datang dari peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto.
Dia mengatakan, pasal tersebut berlawanan dengan logika demokrasi. Pasalnya, pasal itu tidak menggambarkan kesetaraan di mata hukum, menghilangkan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
BACA JUGA: Bertemu Jokowi, Ketum Cantik Ini Laporkan Perkembangan PSI
"Bukan hanya itu, pasal 263 dan 264 dalam RUU KUHP yang diajukan pemerintah ke DPR juga mengekang kebebasan informasi," ujar Arif, Senin (10/8).
"Kenapa kebebasan informasi itu menjadi penting? Apakah yang membutuhkan informasi itu hanya para jurnalis? Saya sebagai warga negara biasa butuh juga kebebasan informasi," sambung Arif.
BACA JUGA: Mensos Pantau Langsung Pencairan Dana PKH di Sumbar
Menurut Arif, partisipasi politik warga negara ditentukan antara lain oleh informasi yang di terima. "Saya bisa mengatakan Jokowi baik atau Jokowi pemerintahannya buruk kalau saya dapat informasi. Tanpa informasi saya tidak bisa mengambil sikap apakah saya mendukung atau menolak pemerintahan Jokowi," kata Arif.
Ia menilai, pasal tersebut jelas-jelas berlawanan dengan logika demokrasi. Sebab, jika ada aturan yang mau diundangkan, aturan itu harus bisa diterima oleh nalar publik (reasonable).
BACA JUGA: OSO Sumbang Saran Atasi Masalah Daging Sapi
"Tidak sah. Walaupun secara formal kita tetap harus membawanya ke MK. Tetapi MK sekalipun sesungguhnya kita bisa mengukur apakah aturan itu legitimate atau tidak," tegas Arif. (dem)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komjen Buwas: Apa Susahnya Serahkan BW?
Redaktur : Tim Redaksi