JAKARTA - Pengembangan properti di beberapa kota besar mulai jenuh lantaran terjadi kelebihan pasokan (oversupply). Karena itu, pengembang harus lebih cermat menghitung antara biaya konstruksi dengan pengembalian investasi (return of investment).
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menyatakan, pergerakan bisnis properti di beberapa wilayah perlu diwaspadai lantaran berpotensi terjadi suplai yang berlebihan. ''Ini market warning karena ada ancaman oversupply di masa mendatang. Pengamatan kami, mulai terjadi perlambatan pasar properti pada 2014,'' ujarnya kemarin (3/10).
Dia mencontohkan, di Jakarta pengembangan trade center mulai jenuh karena terlalu banyak dibangun di setiap sudut kota. Demikian juga, pengembangan apartemen mewah mulai jenuh. Meski begitu, tidak semua lokasi jenuh. Sebab, beberapa wilayah justru potensial untuk pengembangan apartemen menengah. ''Potensi apartemen menengah masih terbuka di beberapa lokasi non-CBD (central business distric),'' tandasnya.
Untuk Bandung, terlihat ada kejenuhan pengembangan hotel bujet. Tetapi, pengembangan kondotel masih potensial. Demikian juga, pengembangan hotel bujet di Jogjakarta mulai jenuh. Untuk Surabaya, pengembangan semua jenis properti masih potensial. Walau begitu, pengembangan apartemen dan gedung perkantoran paling disarankan seiring dengan tumbuhnya aktivitas bisnis di Kota Pahlawan itu. ''Apartemen dan perkantoran berpotensi bangkit,'' ungkapnya.
Namun, dia meminta pengembang tidak latah seperti terlihat dalam pengembangan apartemen menengah di wilayah Serpong dan Bekasi. Semua mengklaim mempunyai pasar yang potensial. Tetapi, diperlukan kehati-hatian ketika pasokan makin banyak, sedangkan pasar tidak tumbuh seperti yang diharapkan. ''Fenomena apartemen biasanya muncul setelah harga tanah makin tinggi sehingga pengembang memilih hunian vertikal,'' tambahnya.
Kelatahan di sektor perhotelan terjadi di Bali sehingga pasar mulai jenuh. Aktivitas tersebut membuat harga tanah terkerek dan makin tinggi. Namun, itu ternyata tidak menyurutkan investor untuk membangun hotel meski secara investasi dipertanyakan tingkat kelayakannya. ''Terkadang tidak sinkron antara biaya pembangunan dan pengembalian investasi,'' sebutnya.
Indonesia Timur ternyata malah menunjukkan perkembangan positif. Namun, saat sebuah wilayah mempunyai potensi, biasanya fenomena latah kembali muncul dengan banyaknya investor yang ikut masuk ke sektor yang sama di wilayah yang sama. ''Waspada akan batasan limitasi pasar seharusnya menjadi pertimbangan sehingga pasar properti lebih sehat dan solid,'' jelasnya.
Sementara itu, penyaluran kredit ke sektor properti juga mengalami kontraksi. Bank Indonesia (BI) mencatat, pada periode Agustus 2014, pembiayaan properti tumbuh 15,7 persen menjadi Rp 526,5 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Angka tersebut melambat bila dikomparasikan dengan Juli 2014 yang naik 17 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menyatakan, perlambatan pertumbuhan kredit properti terutama disebabkan oleh tertekannya kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), serta kredit konstruksi. Selama Agustus, penyaluran KPR dan KPA mencapai Rp 306,5 triliun atau tumbuh 13,6 persen (yoy).
Sebagaimana periode sebelumnya, pembiayaan perbankan kepada masyarakat untuk pembelian rumah tinggal atau apartemen masih didominasi kelompok bank persero Rp 151,6 triliun atau 49,5 persen dari total KPR atau KPA Rp 306,5 triliun. Secara keseluruhan, penyaluran kredit perbankan pada Agustus 2014 tercatat Rp 3.518,9 triliun atau tumbuh 13,4 persen (yoy). (wir/gal/c19/oki)
BACA JUGA: 18 Perusahaan Dalam Negeri Masuk Batam
BACA ARTIKEL LAINNYA... Infrastruktur Logistik RI Tertinggal
Redaktur : Tim Redaksi