Pasar Terapung Kalsel, Riwayat Dahulu dan Kini

Sabtu, 13 Agustus 2022 – 15:32 WIB
Potret Pasar Terapung di Kalimantan Selatan. Foto: KITLV Leiden University.

jpnn.com - Sungai-sungai yang melintasi Kalimantan Selatan (Kalsel) pernah menjadi urat nadi perekonomian provinsi berjuluk Bumi Lambung Mangkurat itu. Pasar terapung menjadi sisa-sisa bukti kejayaan peradaban sungai di daerah bekas wilayah Kesultanan Banjar tersebut. 

Laporan Donny Muslim, Banjarmasin

BACA JUGA: Personel Lanal Banjarmasin Membidik Para Pedagang dan Nelayan di Pasar Terapung

PASAR terapung telah menjadi ciri khas Kalsel. Terdapat dua pasar apung kondang di provinsi yang beribu kota di Banjarbaru itu, yakni Muara Kuin dan Lok Baintan.

Pasar Terapung Muara Kuin berlokasi di pinggiran Sungai Barito, Banjarmasin, sedangkan Lok Baintan berada di Sungai Martapura, Kabupaten Banjar.

BACA JUGA: Festival Pasar Terapung Istimewa, Kalsel Optimistis Gaet 1 Juta Travelista

Sejarah mencatat kedua pasar terapung tersebut sudah ada sejak berabad-abad silam. 

Pemerhati sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur menjelaskan pasar terapung yang pertama muncul ialah Muara Kuin pada 1530. 

BACA JUGA: Festival Pasar Terapung Kalimantan Selatan Hipnotis Turis Thailand

"Satu zaman dengan pemerintahan awal Kesultanan Banjar," ujar Mansyur kepada JPNN.com.

Dosen pendidikan sejarah itu mengungkapkan dahulu lokasi Pasar Terapung Muara Kuin bukan di Sungai Barito, melainkan di antara pertemuan Sungai Sigaling dan Sungai Keramat.

Lokasi itu diyakini berdekatan dengan keraton Kesultanan Banjar pada masa itu. 

Namun, seiring waktu berjalan, makin banyak pedagang berpindah ke sungai yang lebih besar. Pilihan mereka ialah Sungai Barito. 

Para pedagang pada masa itu datang dari berbagai kampung dengan membawa hasil bumi dari tempat masing-masing. Ada sayur, ikan, buah-buahan, dan barang berharga lainnya. 

Di pasar terapung itulah para pedagang bertemu dan bertransaksi.

Setelah itu, mereka menyusuri sungai-sungai kecil menggunakan jukung atau jongkong untuk menjual dagangan ke rumah-rumah warga di pinggiran kali. 

Merujuk buku berjudul ‘Bandjarmasin‘ karya sejarawan Idwar Saleh, Mansyur menuturkan pada awal pasar terapung belum ada transaksi menggunakan uang. 

"Pakai sistem barter atau istilah di sini bapanduk," tuturnya. 

Barter berarti perdagangan dengan saling bertukar barang. Misalnya, satu kilogram beras ditukar dengan beberapa ekor ikan tangkapan di sungai.

Sistem perdagangan barter tersebut juga diterapkan oleh pedagang di Pasar Terapung Lok Baintan.

Usia pasar terapung di ibu kota Kabupaten Banjar itu lebih muda ketimbang Muara Kuin.

Kemunculan Pasar Terapung Lok Baintan sezaman dengan perpindahan Keraton Kesultanan Banjar dari Kuin di Banjarmasin ke ke kawasan Kayutangi di Martapura pada 1612 masehi. 

Walakin, kemunculan Pasar Lok Baintan tak menggerus eksistensi Muara Kuin yang terus berkembang dan bertahan hingga kini.

Pada dasawarsa 1980-an, muncul ide menjadikan pasar terapung sebagai destinasi wisata.  

Ide itu muncul pada saat Effendi Ritonga menjabat wali kota Banjarmasin. Gagasan itu  berlanjut  hingga sekarang.  

Pemkot Banjarmasin juga membuka pasar terapung buatan di Siring, Jalan Piere Tendean pada 2014.

Sebagai destinasi wisata, Pasar Terapung Siring sering dijadikan lokasi berbagai event turisme.

Saban akhir pekan, Pemkot Banjarmasin menggelar kegiatan di pasar yang mengapung di Sungai Martapura itu. 

Sebagian besar pedagang di Pasar Terapung Siring Tendean berasal dari Lok Baintan dan sekitarnya.  

Namun, keberadaan pasar terapung di jantung Kota Banjarmasin itu tak mengalahkan eksistensi Muara Kuin. 

Seorang pedagang buah di Pasar Terapung Muara Kuin, Pahrul, mengatakan tempatnya berjualan begitu kondang pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000.

Hal itu disebabkan terangkatnya nama ‘pasar terapung’ oleh salah satu stasiun televisi swasta.

Saat itu, RCTI menjadikan Pasar Terapung Kuin sebagai lokasi pembuatan iklan pembuka acara. Bintang iklan ‘RCTI Oke’ itu adalah seorang pedagang di Pasar Terapung Kuin bernama Noor Parida.

Pahrul pun ikut menikmati ketenaran pasar terapung pada awal Milenium.

“Kami dagang buah saja bisa (meraup) sampai Rp 300 ribu sehari, apalagi kalau sudah Sabtu dan Minggu," kata Pahrul. 

Namun, situasi mulai berubah begitu pandemi Covid-19 datang.

Warga Kelurahan Pangeran, Banjarmasin, itu mengatakan jumlah pengunjung pasar terapung jauh berkurang karena ada pembatasan aktivitas, termasuk larangan berwisata. 

Pahrul pun harus berjualan ke darat untuk menghidupi keluarganya. Menggunakan gerobak, dia menjual buah yang tidak selalu habis.  

Efek pandemi Covid-19 terhadap Pasar Terapung Muara Kuin masih terasa sampai sekarang. “Lebih sunyi,” ucap Pahrul.

Seiring pagebluk yang mulai mereda, kegiatan wisata di Pasar Terapung Muara Kuin pun digelar lagi. “Jadi, kami begemetan (pelan-pelan) mulai jualan," katanya. 

Pahrul pun berharap pemerintah bisa terus memperhatikan kondisi pasar terapung yang asli, seperti Muara Kuin dan Lok Baintan. 

"Soalnya bantuan itu rasa-rasanya belum ada. Bila pemerintah datang untuk kunjungan wisata, itu pun bukan bantuan, tetapi cuma memborong banyak barang dagangan kami," kata dia. (mcr37/jpnn)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Donny

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler