Pasukan Khusus Ini Berjalan Tidak dengan Kaki, Tetapi Pakai Tangan dan Kepala

Senin, 05 Juli 2021 – 10:11 WIB
Sisi bangunan Stasiun Demak saat malam hari. Foto: Wahib Pribadi/Jawa Pos Radar Semarang

jpnn.com, DEMAK - Warga di sekitar Stasiun Demak (nonaktif), Jawa Tengah menyebutnya Pasukan Wadudu.

Sutrimo, warga sekitar, mengatakan, Wadudu merupakan pasukan khusus yang berjalan tidak dengan kaki.

BACA JUGA: Ada Tempat Karantina Angker untuk Pemudik, Yakin Mau Nekat Mudik?

"Namun, dengan tangan dan kepala di bawah. Namanya Pasukan Wadudu,” kata Sutrimo kepada awak Radar Semarang.

Kawasan Stasiun Demak dikenal wingit. Namun, warga sudah tidak lagi menganggap sebagai kawasan yang menakutkan.

BACA JUGA: Datang ke Demak, Presiden Jokowi Berharap Masalah yang Berpuluh Tahun Lalu Segera Diselesaikan

Di bagian kanan kiri bangunan tua itu telah banyak berdiri perumahan, termasuk indekos, gudang bahkan sampai tempat hiburan karaoke.

Bangunan stasiun sendiri banyak dimanfaatkan warga sebagai tempat berjualan. Tempat nongkrong dan minum kopi anak-anak muda.

BACA JUGA: Tiga Instruksi Pak Ganjar untuk Demak

Jam operasionalnya pun sampai larut malam. Halaman depan stasiun dipenuhi tanaman bonsai.

Sedangkan, bagian belakang yang dulu tempat jalur rel kereta, dipenuhi rumput dan ilalang.

Wartawan koran ini, mencoba hunting ke stasiun pada malam Jumat (24/6).

Suasana tampak hening. Lampu gemerlap memancar merah. Ada satu dua orang tengah asyik minum kopi di salah satu ruangan stasiun. Tidak terlalu gelap. Yang tampak gelap di bagian bangunan sebelah selatan. Dekat tower.

Konon, di kawasan bangunan lawas dekat tower itulah banyak dihuni beragam makhluk halus.

“Ada semacam ular gaib. Jika ada warga yang sempat melihat ular itu menyeberang jalan depan staisun, warga meyakini menjadi pertanda bakal ada kecelakaan lalu lintas. Itu cerita dulu yang sampai sekarang masih sering terdengar,” kata Sutrimo.

Menurutnya, kawasan Stasiun Demak yang dikenal wingit tidak hanya di sisi selatan bangunan kuno saja.

Namun, tak jauh dari lokasi terdapat hutan jati yang di dalamnya ada makam misterius. Kloneng kereta dulu berada di hutan jati itu.

Namun, sejak zaman kolonial Belanda, makam tersebut diratakan dengan tanah.

Daerah tersebut juga menjadi salah satu paseban atau tempat menemui tamu di era Sultan Fatah. Pemimpin Keraton Demak Bintoro.

“Ya, dekat kloneng sepur itu,” katanya.

Doni Pranata, warga Setinggil, Kota Demak, menuturkan, dia membuka kedai kopi pada sore hari dan tutup hingga jam 23.00.

“Saya baru tiga bulan menempati ruang stasiun ini. Biasa saja sih,” ujarnya.

Meski bangunan lama, tetapi stasiun tetap menjadi tempat yang nyaman untuk berjualan kopi.

Stasiun Demak didirikan di zaman penjajahan Belanda. Baru dioperasionalkan sekitar 1923. Pada 1986, aktivitas stasiun berhenti total.

Sejak saat itu, hingga sekarang, kondisi fisik bangunan Stasiun Demak cukup memprihatinkan. Bangunan lama khas arsitektur Belanda itu makin tua dan kurang terawat.

Beberapa genteng stasiun bahkan sudah ada yang lepas. Hanya sebagian lingkungan stasiun saja yang terlihat lebih unik.

Ini karena bagian depan stasiun tersebut disulap menjadi kafe dan tempat pengembangan tanaman bonsai.

Pada malam Minggu, lokasi yang dijuluki Stasiun Angkasa ini cukup ramai. Menjadi tongkrongan anak-anak muda. (hib/zal)


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler