jpnn.com, JAKARTA - Paviliun Indonesia, “Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”, telah setengah semester berdiri dan menyambut publik global dalam ajang seni rupa tertua dan terkemuka di dunia, Venice Biennale 2019.
Paviliun yang dihadirkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bersama Yayasan Design+Art Indonesia (YDAI) tersebut berdiri selama total kurang lebih enam bulan, yakni sejak 11 Mei lalu hingga 24 November 2019 mendatang.
BACA JUGA: Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019, Representasi Ciri Khas Bangsa
BACA JUGA: Gurning Mundur dari Tim, Manajemen PSMS Medan Kelimpungan
Paviliun ini merupakan hasil kolaborasi Tim Artistik terpilih yang terdiri dari Asmudjo Jono Irianto (Kurator), Yacobus Ari Respati (Ko-Kurator), dan Handiwirman Saputra serta Syagini Ratna Wulan (Seniman).
BACA JUGA: Paviliun Indonesia di Ukraina Ajang Promosi Budaya Bangsa
“Kehadiran Paviliun Indonesia dalam Venice Biennale 2019 adalah sebuah keputusan bersama yang hadir, bukan hanya dari Bekraf dan YDAI saja, melainkan juga dengan segenap pemangku keputusan seni rupa kontemporer Indonesia termasuk para pelaku, pakar, seniman, kurator, serta akademisi,” ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf.
“Keputusan bersama inilah yang mendorong kesepakatan untuk mengusung praktik kolaborasi dalam Paviliun Indonesia,” lengkapnya.
“Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019 sekiranya dapat menjadi sebuah momen bagi kita bersama untuk bisa bergandengan tangan lebih kuat lagi dengan berbagai pihak untuk membawa nama baik Indonesia dalam kancah seni rupa kontemporer dunia,” ujar Komisioner Paviliun Indonesia Diana Nazir (YDAI) yang bertindak sebagai Komisioner Paviliun Indonesia 2019 bersama Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik.
Terdiri atas 5 komponen karya, Paviliun Indonesia mengundang pengunjung untuk berinteraksi dan menelusuri seluruh komponen dengan pendekatan layaknya bermain game.
Karya tersebut berangkat dari gagasan dasar Tim Artistik perihal ketiadaan kerangka dasar atau platform praktik seni rupa kontemporer di Indonesia.
“Ketiadaan kerangka dan kanal ini menyulitkan posisi praktik seni rupa kontemporer dalam masyarakat Indonesia. Dibanding populasi penduduknya, medan seni rupa kontemporer masih sangat kecil di Indonesia. Jadi kami melihat, seni rupa kontemporer belum menjadi praktik kebudayaan yang berarti dan belum berfungsi secara sosiologis,” ujar Kurator Asmudjo Jono Irianto.
BACA JUGA: Dores Temukan Hal Tak Terduga Saat Memancing Ikan
Dilatari oleh kesadaran mengenai ketiadaan kerangka dan kanal tersebut, Tim Artistik menyusun narasi seni rupa yang secara generik merefleksikan paradigma seni rupa kontemporer berserta risiko-risikonya.
“Tim Artistik kali ini mencoba menampilkan narasi yang berbeda dari tiga Paviliun Indonesia yang sebelumnya ada di Venice Biennale. Tim Artistik mencoba menerjemahkan situasi seni rupa kontemporer Indonesia dalam risiko dan relasinya dengan seni rupa kontemporer global. Kami berharap karya yang kami presentasikan ini dapat berdampak luas,” lanjut Asmudjo.(dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad