jpnn.com - jpnn.com -Ketua Badan Saksi Pemilihan Umum Nasional (BSPN) DPP PDI Perjuangan, Arif Wibowo menilai banyak persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada serentak di 101 daerah di Indonesia.
Arif menjelaskan, dari hasil evaluasi BSPN DPP PDI Perjuangan, memperlihatkan bahwa politik uang masih mewarnai pilkada.
BACA JUGA: Ini Pelanggaran Pilkada DKI Versi PDIP
Menurut dia, memang tidak mudah memberantas politik uang itu. Meskipun, pasal 187 a Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sudah jelas melarang politik uang serta upaya penindakannya.
Karenanya, Arif mengatakan, penegak hukum terpadu (gakkumdu) harus menegakkan aturan itu. "Supaya bisa sampai proses peradilan hingga lahir putusan berkekuatan hukum tetap pelaku bisa ditindak tegas berdasar Undang-undang," katanya di DPP PDI Perjuangan, Sabtu (18/2).
BACA JUGA: Nasdem Pastikan Berjuang Habis-Habisan Demi Ahok-Djarot
Menurut Arif, persoalan lain adalah banyak warga yang tidak bisa melaksanakan hak konstitusionalnya. Salah satunya adalah di DKI Jakarta. "Kami anggap ini masalah serius," tegasnya.
Anggota Komisi II DPR itu mengatakan, pada hari H pilkada DKI Jakarta ada 56 laporan dari kader.
BACA JUGA: Bukan Pendukung Jokowi-JK, Demokrat Dicuekin
Masalah itu antara lain warga yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT) ingin menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) tapi tak diperbolehkan.
Menurut dia, persoalan ini terjadi karena adanya peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta yang diterbitkan tiga hari sebelum hari H.
Arif menjelaskan, SK KPUD nomor 151 itu bertentangan dengan surat edaran (SE) KPU RI nomor 162. Dalam SE 162, kata Arif, KPU menyatakan KTP, surat keterangan, paspor dan foto, bisa digunakan sebagai sarana hak pilih.
Namun, lanjutnya, KPUD lewat SK 151 malah mempersempit kebijakan dari KPU RI. Dalam SK KPUD, kata Arif, hanya mereka yang punya e-KTP, dan kartu keluarga (KK) asli yang bisa menggunakan hak pilih. Akibatnya, banyak warga yang datang ke TPS membawa e-KTP tidak bisa gunakan hak pilihnya.
Masyarakat harus pulang ke rumah mengambil KK untuk bisa memberikan hak suara. Hal itu tentu membutuhkan waktu dan menyebabkan terjadi permasalahan di banyak TPS.
"Bahkan, kami berani katakan ada suatu upaya tertentu agar rakyat tidak saja bisa menggunakan hak konstitusionalnya, tapi juga lebih berorientasi menghalangi rakyat menggunakan hak pilih," katanya.
Karenanya, dalam masa real count yang masih berjalan, DPP sudah memerintahkan semua saksi di tingkat PPK untuk mempersoalkan itu.
Lebih lanjut Arif juga menegaskan, untuk DKI Jakarta proses pemungutan dan penghitungan suara masih terjadi permasalahan mendasar. Parahnya, kejadian itu terjadi di daerah yang sejak awal dinyatakan sebagai basis kemenangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat.
Yakni di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Kemudian, beberapa kecamatan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan juga terjadi meskipun tidak semasif di basis utama pasangan Ahok-Djarot. "Semua catatan ada. Semua bukti sudah dikumpulkan. Ini menyangkut hak konstitusional, hak warga negara yang diatur dalam konstitusi," ujarnya.
Dia menyatakan, akan melaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adanya dugaan penyelenggara yang tidak etis dan tak melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di pilkada.
"Kami desak KPU putaran kedua nanti 19 April 2017 lebih proaktif pemutakhiran DPT dan tambahan. Harus ambil kebijakan tegas dan konkret untuk menghargai hak konstisuonal. Antisipasi juga pemilih siluman," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hati Pak Ahok Selembut Salju
Redaktur & Reporter : Boy