PDIP: Perpanjangan Kontrak JICT Langgar UU dan Bikin Negara Rugi Rp30 Triliun

Senin, 23 November 2015 – 04:17 WIB
Anggota Pansus Pelindo II DPR dari Fraksi PDIP Sukur Nababan dan Anggota Fraksi PDIP DPR RI, Aria Bima. FOTO: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Proses perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) yang dilakukan Direksi PT Pelindo II diduga kuat telah melanggar beberapa UU. Diantaranya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU Keuangan Negara, dan UU Perbendaharaan Negara. selain melanggar UU, perpanjangan kontrak JICT juga berpotensi menimbulkan kerugian negara mencapai Rp30 triliun.

Hal itu disampaikan Anggota Pansus Pelindo II DPR dari Fraksi PDIP Sukur Nababan dan Anggota Fraksi PDIP DPR RI, Aria Bima, akhir pekan lalu, di Jakarta.

BACA JUGA: NCBI: Sekali Tepuk Sudirman Said Buka 4 Pilar

“Pansus Pelindo II DPR akan fokus mengungkap pelanggaran UU dalam proses perpanjangan dan dampak kerugian negara,” tegas Sukur Nababan.

Sukur menjelaskan, perpanjangan kontrak JICT yang diberikan Pelindo II kepada HPH (Hutchison Port Holdings), merupakan skandal besar dalam sejarah Indonesia.

BACA JUGA: 87 RUU Daerah Otonom Baru tak Dibahas dari Nol Lagi

“Ini jelas perampokan. Ini skandal yang lebih dahsyat dari Century,” tegas Sukur.

Sukur mengungkapkan adanya sejumlah keganjilan dari proses perpanjangan kontrak. Pada kontrak I, Pelindo II menetapkan HPH, perusahaan milik Taipan Hong Kong, Li Ka-shing itu, menjadi operator JICT periode 1999-2019.

BACA JUGA: Djan Faridz Keluarkan Perintah Penting untuk Kader PPP di Legislatif

Dalam kontrak pertama, Pelindo II berhak atas royalti sebesar 15 persen dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08 persen dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).

“Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," kata Sukur.

Sukur Nababan mengaku heran karena masa kontrak belum habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019. Terdapat sejumlah kesepakatan baru yang mengundang kecurigaan.

“Ya, karena, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$ 85 juta per tahun. Sselain itu, jatah HPH atas technical knowhow 14,08 persen dari laba bersih dihapus. Dan, komposisi andil di JICT bergeser, di mana Pelindo II berhak atas 51 persen saham dan HPH 49 persen,” kata Sukur Nababan.

“Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya. Ini justru menimbulkan kerugian negara,” tegas Sukur Nababan lagi.

Meurut Sukur, kontrak kedua yang mengubah sistem royalti menjadi sewa, berdampak kepada kerugian negara. Yang fatal lagi, kata dia, pemberian saham JICT sebesar 49 persen kepada HPH selama 20 tahun, karena bakal habis kontrak 2038.

“Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp20 sampai Rp30 triliun,” katanya.

 

Terkait pelanggaran UU dalam proses perpanjangan kontrak JICT, Sukur menyebut, pasal 344 ayat 22 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelabuhan. Dalam beleid ini, menurut Sukur, setiap kerja sama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan.

Sukur menjelaskan, sebelum adanya UU Pelabuhan, Pelindo II memang menjadi pengendali penuh atas pelabuhan. Artinya, kontrak JICT pertama, sepenuhnya di tangan Pelindo II. Namun, sejak berlakunya UU tentang Pelabuhan, wewenang untuk kerja sama bisnis ini dipecah dua. Selain Pelindo II selaku operator pelabuhan, juga ada wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator perlabuhan.

“Tapi RJ Lino kan selalu bersuara keras. Bahwa, perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi (Pelindo II). Padahal, sejak ada UU Pelabuhan harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan RJ Lino,” kata Sukur.

Selain itu, menurut Sukur, perpanjangan kontrak JICT jelas melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara.

“Kesalahan ini tentunya mengarah kepada penanggung jawab BUMN yakni Menteri BUMN Rini Soemarno,” tegas Sukur.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Aria Bima menyebut pada saat EE Mangindaan menjabat Menteri Perhubungan keberatan dengan perpanjangan kontrak JICT. Keberatan yang sama juga dilakukan oleh Ignasius Jonan selaku Menteri Perhubungan saat ini.

“Ini layak mengapresi sikap Menhub Ignasius Jonan karena berpatokan dengan surat pendahulunya yakni Menhub EE Mangindaan bahwa untuk perpanjangan izin JICT, harus benar-benar dikaji,” kata Aria Bima.

Aria Bima justru mempertanyakan sikap Menteri BUMN Rini Soemarno yang mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak JICT. “Dari mana dasar izin prinsip itu,” kata Aria Bima.

Menurut Aria Bima, Menteri BUMN Rini Soemarno seharusnya menolak surat Dirut Pelindo II RJ Lino yang mengajukan permohonan perpanjangan kontrak JICT.

Pada bagian lain, Sukur Nababan menambahkan pembentukan Pansus Pelindo II DPR tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan seseorang, namun bertujuan untuk membenahi sistem tata kelola Pelindo II maupun seluruh BUMN. Perbaikan sistem tata kelola BUMN ini diharapkan bisa memberi manfaat bagi korporat maupun pemerintah atau negara,

“Jadi Pansus ini menjadi pintu masuk untuk memperbaiki seluruh sistem tata kelola BUMN yang ada,” tegas Sukur Nababan.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KTP Lama tak Berlaku, Bikin E-KTP kok Susah, Prof?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler