jpnn.com, LIMAPULUH KOTA - Lagi, pecahan roket Longmarch/Chang-Zheng 3 milik Republik Rakyat Tiongkok, jatuh di wilayah Sumatera Barat.
Selasa lalu (18/7), bagian tabung bahan bakar roket itu jatuh di tepian Danau Maninjau, persisnya di Nagari Sungaibatang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam yang merupakan kampung kelahiran Buya Hamka.
BACA JUGA: Bung Hatta, Buya Hamka dan Agresi Belanda di Bulan Puasa
Kemarin pagi (19/7), sampah antariksa itu dipastikan juga jatuh dari atas langit di Nagari Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota yang pernah menjadi ibu kota negara, semasa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berlangsung di Sumatera Tengah.
Sampah antariksa yang jatuh di Nagari Kototinggi, persisnya dalam sawah penduduk di Jorong (Dusun) Lakuang tersebut, memiliki bentuk berbeda dengan benda yang jatuh di tepian Danau Maninjau.
BACA JUGA: Apa yang Terjadi di Bulan Puasa 1944?
Bila benda yang jatuh di depan kantor pos Kantor Pos Jorong Kubu, Sungaibatang, Tanjungraya, bentuknya menyerupai “kendi” dan memiliki berat 7,4 kilogram, maka benda yang jatuh di Kototinggi berupa lempengan baja yang bentuknya sedikit mirip sirip ikan hiu.
Lempengan baja atau lempengan tembaga dengan panjang sekitar 120 centimeter dan lebar 40 centimer itu ditemukan pertama kali oleh petani bernama Safri, 50.
BACA JUGA: Teladani Figur Buya Hamka untuk Hadapi Dinamika Bangsa
“Kala itu, Safri yang tengah menyiangi sawahnya dikejutkan dengan dentuman benda misterius yang jatuh dari atas langit. Setelah dilihat, ternyata benda misterius itu adalah lempengan baja.
“Safri kemudian memberitahu warga sekitar dan aparatur nagari. Oleh aparatur nagari dan tokoh masyarakat, kejadian ini juga disampaikan kepada kita,” kata anggota DPRD Sumbar Yulfitni Djasiran Dt Majo Bosa Nan Kuniang dan anggota DPRD Limapuluh Kota Wendi Chandra Dt Marajo kepada wartawan, Rabu siang.
Singkat cerita, lempengan baja mirip sirip ikan hiu yang ditemukan di sawah milik Safri, akhirnya disimpan di rumah Upik yang merupakan keponakan Safri.
Sebab banyak warga sudah penasaran, benda tersebut akhirnya diamankan di Mapolsek Suliki.
“Barusan, Kapolsek Suliki Iptu Feri Arjoni bersama angotanya menjemput lempengan baja tersebut ke Kototinggi. Kini, sudah diamankan di Mapolsek Suliki. Kami juga sudah berkoordinasi dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), melalui Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) yang berkantor di Palupuah, Agam,” kata Kapolres Limapuluh Kota AKBP Haris Hadis kepada Padang Ekspres, Rabu sore.
Iptu Feri Arjoni yang dihubungi Padang Ekspres (Jawa Pos Group) secara terpisah, memperkirakan lempengan baja yang ditemukan di Kototinggi itu memiliki berat 30 kilogram.
“Kini sudah di kantor kami. Sesuai atensi Pak Kapolres, kami menunggu petugas Lapan menjemputnya karena lempengan baja ini diduga merupakan benda antariksa yang jatuh ke bumi,” kata Iptu Feri Arjoni.
Kepala BPAA Lapan Agam Syafrijon yang dihubungi Padang Ekspres secara terpisah, mengaku sudah berkoordinasi dengan Kapolres Limapuluh Kota AKBP Haris Hadis, terkait lempengan baja yang jatuh dari atas langit di Nagari Kototinggi. “
Besok siang (hari ini, red), kami akan jemput lempengan baja tersebut ke Mapolsek Suliki. Tadi, kami sarankan petugas yang menjemput ke lokasi agar memakai sarung tangan,” ujarnya.
Syafrijon memperkirakan, lempengan baja yang jatuh dari atas langit di Kototinggi, Limapuluh Kota, masih satu komponen dengan benda yang ditemukan sehari sebelumnya di tepian Danau Maninjau, Agam.
“Ya, kemungkinan banyak serpihannya. Karena ukuran awal diperkirakan silinder diameter 3 meter dan tinggi 5 meter, dengan motor roket di dalamnya,” kata Syafrijon.
Dia memastikan, lempengan baja yang ditemukan di Kototinggi dan bekas tabung bahan bakar roket yang jatuh di Maninjau memang merupakan serpihan roket roket Longmarch/Chang-Zheng 3 milik Republik Rakyat Tiongkok.
Roket tersebut sepuluh tahun silam digunakan Tiongkok untuk meluncurkan satelit navigasinya ke antariksa.
Ini juga disampaikan bos Syafrijon, yakni Kepala Lapan Pusat Profesor Thomas Djamaludin yang dihubungi tadi malam.
“Sampah antariksa yang jatuh di Sumbar dan ditemukan pada dua titik, kemarin (di Maninjau) dan hari ini (di Kototinggi), memang merupakan bagian dari tabung bahan bakar roket peluncur satelit navigasi RRT,” kata Thomas.
Profesor jebolan Kyoto University ini menyebut, sampah roket RRT yang ditemukan di Sumbar saat ini, sebelum jatuh ke bumi berukuran besar.
“Diameter sekitar 3 meter, panjang sekitar 5 meter. Kemudian, tiap tabung itu di dalamnya ada motor roket. Waktu masuk ketinggian sekitar 120 kilometer, ia pecah. Pecahannya tersebar di sekitar daerah itu. Mungkin sebagian ada yang masuk ke air atau masuk ke hutan,” beber Thomas Djamaludin.
Bagaimana jika sampah antariksa itu jatuhnya menimpa penduduk atau merusak permukiman? Menurut Thomas, kalau sampah antariksa yang jatuh ke bumi menimbulkan kerugian, negara terdampak bisa menuntut negara pemilik sampah antariksa tersebut.
“Aturan internasionalnya begitu. Negara menuntut negara. Itu biasanya. Tapi untuk kerugian yang besar. Kalau di Sumbar, kan boleh dibilang tidak ada kerugiannya saat ini,” kata Thomas.
Dia mengaku sudah menyerahkan penemuan sampah antariksa di Sumbar kepada jajarannya yang bertugas di BPPA Agam.
“Nanti kawan-kawan di BPPA Agam yang akan mengirim Pusat Sains Antariksa di Bandung, Jawa Barat. Bagaimana teknisnya itu kami serahkan ke kawan-kawan BPPA di Sumbar. Kami tidak turunkan tim dari Jakarta, karena mereka di sana bisa,” kata Thomas.
Lapan juga mengajak masyarakat Sumbar, tidak cemas berlebihan dengan sampah-sampah antariksa yang menghujani daerah ini dalam dua hari terakhir.
“Bekas roket umumnya tidak membahayakan. Bahan beracunnya sudah habis terbakar. Jadi, tidak perlu khawatir,” kata Thomas.
Di Indonesia, menurut Thomas, peristiwa sampah antariksa jatuh ke permukaan bumi, sudah enam kali terjadi.
“Pertama pada 1980, sampah roket Rusia jatuh di Gorontalo. Kemudian, 1988 juga sampah roket Rusia jatuh di Lampung. Pada 2003, sampah roket RRT jatuh di Bengkulu. Kemudian, 2016 sampah roket Amerika Serikat, jatuh di Sumenep Madura. Dan tahun ini, untuk sementara jatuh pada dua titik wilayah di Sumbar,” beber Profesor Thomas Djamaludin. (frv)
Redaktur & Reporter : Soetomo