Upaya dunia untuk beralih menggunakan kendaraan listrik mendorong pesatnya industri nikel di Indonesia. Namun apakah warga di sekitar kawasan industri mendapatkan keuntungan? dari ABC News mengunjungi Sulawesi untuk mencari jawabannya.
Ini adalah Dusun Kurisa, rumah bagi orang Bajo yang dikenal sebagai pelaut yang tangguh, penangkap ikan yang jitu, serta penyelam yang andal.
BACA JUGA: Akankah Keluarga Jokowi Menjadi Dinasti Politik Selanjutnya?
Tetapi untuk orang Bajo seperti Sakka, laut yang menjadi tumpuan hidupnya sudah berubah.
"Airnya panas, tidak ada ikan yang bisa ditangkap," tutur Sakka.
BACA JUGA: Diaspora Indonesia Menggalang Dana untuk Korban Kecelakaan Mobil di Australia Selatan
"Dulu kami punya banyak ikan putih di keramba di bawah sini, tapi semuanya mati."
Sakka dan orang Bajau lain yang tinggal di Kurisha menuduh matinya ikan-ikan akibat suhu air yang meningkat akibat air panas dari "perusahaan" yang terletak tak jauh dari desanya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Sebuah Gereja Tempat Pengungsian di Gaza Diserang Israel
"Perusahaan" yang dimaksud adalah kawasan industri nikel yang luas, yakni Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kawasan ini memiliki kepentingan strategis nasional bagi Indonesia dan salah satu pengolahan mineral terluas pertama yang memungkinkan Indonesia menjadi penyuling nikel terbesar di dunia.
Dibangun dengan investasi miliaran dolar, yang sebagian besar berasal dari Tiongkok selama dekade terakhir, IMIP memiliki luas lebih dari 20 kilometer persegi dengan infrastruktur termasuk bandara, pelabuhan, dan akomodasi bagi pegawainya yang bekerja di 52 perusahaan.
IMIP awalnya berfokus pada pemurnian bijih nikel untuk industri baja tahan karat (stainless steel). Namun dalam beberapa tahun terakhir teknologi baru mulai digunakan untuk mengolah nikel menjadi bahan untuk baterai kendaraan listrik.
Pergeseran ini mencerminkan tren yang lebih luas dalam industri nikel di Indonesia yang berkembang pesat. Di satu sisi menciptakan peluang bagi sebagian orang, tapi bagi sebagian lainnya mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup.'Susah sekali untuk kami orang laut'
Ketika pembangunan IMIP dimulai pada tahun 2013, mereka mengalirkan listrik ke desa-desa serta menyumbangkan perahu untuk warga, kata penduduk desa kepada ABC.
Sakka menggunakan perahu ini untuk melakukan perjalanan yang jaraknya bisa jauh untuk mencari ikan di Laut Banda. Tapi, menangkap ikan di sana tidak terjamin, karena menangkap ikan di perairan dalam lebih sulit.
"Tapi buat apa perahu kalau ikannya tidak ada?" kata Sakka.
Sakka juga harus membayar lebih untuk beli bensin. Ia juga mengatakan penduduk desa tidak lagi bisa berenang di air di sekitar rumah mereka karena membuat kulit mereka gatal.
"Kami sudah tidak pernah mandi di laut lagi sekarang."
Astia membuka toko kelontong kecil dua tahun lalu karena pendapatan suaminya dari menangkap ikan tidak bisa lagi diandalkan.
"Biar cuma seribu atau dua ribu untungnya, tapi masih ada pemasukan dibanding mengandalkan laut."
Ibu tiga anak ini tadinya bergantung pada ikan untuk memberi makan keluarganya, namun mereka tidak lagi memakan hasil tangkapan lokal karena kekhawatiran akan kontaminasi.
Jadi jika ia punya uang cukup, ia akan membeli ikan dari desa lain atau terpaksa makan mi instan.
"Susah sekali untuk kami orang laut."
Ia juga mengeluhkan debu batubara dari PLTU yang digunakan IMIP, yang setiap hari mengotori perabotan di rumahnya.
"Seminggu sekali semuanya harus saya lap atau cuci lagi karena tertutup debu batubara."
Tapi setidaknya kini ia bisa meyekolahkan anak bungsunya.
"Di sini sudah berapa tahun tidak ada TK, sekarang sudah mau dibuka, dari IMIP, gratis."Energi ramah lingkungan mendorong permintaan nikel di masa depan
Australia dan Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
Sekitar 90 persen sumber daya Indonesia tersebar di provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Indonesia.
Perusahaan-perusahaan dengan investor Tiongkok, seperti IMIP, yang merupakan kemitraan antara perusahaan baja tahan karat asal Tiongkok Tsingshan Holding Group dan Bintang Delapan Group dari Indonesia, berkembang pesat sejak Presiden Joko Widodo pertama kali melarang ekspor mineral yang belum diolah pada tahun 2014.
Larangan tersebut "mengantar era baru pertumbuhan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia," menurut Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Arsjad Rasjid, dengan sektor pertambangan kini memberikan kontribusi lebih dari 12 persen terhadap produk domestik bruto negara.
"Ini berarti ekspor nikel kita, yang awalnya berjumlah $3,3 juta pada tahun 2018, telah mencapai hampir $30 miliar pada tahun 2022," kata Rasjid.
Namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi nikel, kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial dari industri nikel juga meningkat.
Kelompok aktivis dan lingkungan hidup di Indonesia sudah mendokumentasikan serangkaian permasalahan, mulai dari penggundulan hutan hingga polusi udara dan isu hak-hak buruh.
Namun kekhawatiran soal lingkungan tampaknya tidak memperlambat laju lonjakan produksi nikel.
Nikel digunakan dalam baterai kendaraan listrik untuk mencapai performa yang lebih baik dan jangkauan yang lebih panjang dengan bobot yang lebih rendah dibandingkan jenis baterai lainnya. Nikel juga menjadi sumber daya utama dalam transisi global ke kendaraan listrik.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan global akan logam tersebut akan tumbuh setidaknya 65 persen pada tahun 2030, dan kendaraan listrik serta penyimpanan baterai akan mengambil alih baja tahan karat sebagai pengguna akhir nikel terbesar pada tahun 2040.
Dewan Kendaraan Listrik memperkirakan 40 persen kendaraan listrik yang dijual di Australia tahun ini memiliki baterai berbahan kimia berbasis nikel.
Tesla, yang menjual lebih banyak mobil listrik di Australia dibandingkan pabrikan lain mana pun, menggunakan nikel Indonesia melalui perusahaan asal Tiongkok, Huayou Cobalt dan CNGR Advanced Material.
Perusahaan juga sudah mempertimbangkan untuk mendirikan pabrik produksi baterai sendiri di negara tersebut.
Produsen baterai termasuk LG Energy Solution dari Korea Selatan dan produsen mobil termasuk Ford, Toyota, Hyundai mengumumkan investasi senilai miliaran dolar di pabrik pengolahan nikel yang berbasis di Indonesia untuk mengamankan pasokan nikel seiring dengan peningkatan produksi kendaraan listrik.Teknologi adalah kunci transformasi industri, namun risiko tetap ada
Pemrosesan pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) digunakan untuk mengekstraksi nikel kadar tinggi yang dibutuhkan oleh produsen aki mobil listrik dari bijih limonit, salah satu bijih kadar rendah yang melimpah di Indonesia.
Namun, pembuangan limbah dari pabrik HPAL masih menjadi isu yang diperdebatkan.
"Geografi dan iklim Indonesia memiliki tantangan dalam pengolahan limbah yang aman bagi lingkungan,” kata IEA dalam laporannya pada tahun 2023.
Limbah tersebut, disebut juga tailing, adalah sisa setelah nikel diekstraksi.
Apa sebenarnya yang ada dalam tailing, seperti halnya dalam batu, bahan kimia, atau air, bergantung pada proses pemurnian yang digunakan.
Dua dari tiga pabrik HPAL di Indonesia berada di IMIP di Sulawesi Tengah, sementara pabrik yang ketiga berada di dekat Pulau Obi, di Maluku Utara.
"Lebih banyak lagi [pabrik HPAL] yang sedang dalam tahap pengerjaan, dengan proyek lanjutan senilai hampir US$20 miliar yang diumumkan dan tujuh pabrik HPAL lainnya sedang direncanakan," kata Rasjid.
Juru bicara perusahaan Tiongkok Huayue Nickel Cobalt (HNC), mengatakan limbah dari pabrik ini dibuang di "TPA" sekitar 7 kilometer dari IMIP.
Perusahaan induk HNC, Huayou Cobalt, mengatakan pihaknya menggunakan "teknologi tumpukan kering" yang mendapat izin dari pemerintah Indonesia.
"Bubur tailing yang diproduksi di proyek HPAL Huayou ditekan dan disaring menjadi filter cake dengan kadar air sekitar 31 persen," kata juru bicara tersebut.
"Filter cake tailing diangkut ke fasilitas tailing tumpukan kering untuk disimpan."
Muhamad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang, JATAM, mengatakan proses tersebut belum terbukti aman bagi lingkungan dan mempertanyakan bagaimana mengeringkan limbah yang berwujud seperti bubur, atau slurry, dengan hanya berisi 10 persen padatan itu.
"Air dari limbah, yang jumlahnya 90 persen itu dikemanakan? Apakah diuapkan? Dibuang? Dibuang Ke mana?"
"Jangan-jangan ini disampaikan pihak industri sebagai upaya mengelabui warga dan pihak industri sendiri terhadap kekhawatiran yang belum mereka temukan solusinya."
"Sehingga kami menantang pihak industri untuk menunjukkan sejauh mana mereka bisa melakukan pengeringan itu, karena sampai saat ini kami belum menemukan praktik itu," kata Jamil.Pekerja dan usaha kecil mendapat manfaat ekonomi
Industri nikel di Indonesia membawa manfaat ekonomi dan sosial warga lokal, usaha kecil, dan ribuan orang yang bekerja di industri tersebut.
Diperkirakan antara 38.000 hingga 80.000 orang bekerja di IMIP. Sekitar 5.000 di antaranya berasal dari Tiongkok, namun mayoritas adalah orang Indonesia.
Di antaranya adalah Hendra Seno dari Sulawesi Selatan yang kini tinggal di Morowali Sulawesi Tengah untuk bekerja di IMIP. Ia bisa bekerja selama sepuluh jam sehari, enam hari seminggu, selama lebih dari lima tahun.
"Saya senang bisa bekerja di sini karena bisa membantu keluarga dan adik-adik sekolah," kata Hendra.
Sebagai pengawas lapangan, ia dibayar 8 juta rupiah per bulan, belum termasuk lembur, dan penghasilannya memungkinkan dia untuk menabung.
"Sebagian untuk orangtua, ada juga yang disisihkan untuk kawin," kata pria lajang yang pulang ke rumah sekitar empat bulan sekali ini.
"Saya bisa membantu keluarga dan adik-adik sekolah."
Faktor upah menjadi alasan Regin pindah ke Morowali.
"Tiga kali lipat dibanding gaji kerja di Café dulu yang cuma sejuta-dua juta per bulan," kata Regin asal Palopo, Sulawesi Selatan.
"Makanya saya lari merantau ke sini, sekarang jadi bisa mandiri dan kirim uang untuk keluarga."
Meski para pekerja yang berbicara kepada ABC memiliki pengalaman kerja yang positif, organisasi-organisasi advokasi dan serikat pekerja sudah berulang kali menyuarakan keprihatinan atas keselamatan pekerja, terutama bagi mereka yang bekerja di pabrik peleburan yang sebagian besar mengolah nikel untuk industri baja tahan karat.
Serikat pekerja tidak memberikan komentar soal ini.
Banyaknya pekerja membuka peluang usaha di sekitar kawasan IMIP di Morowali.
Kamsiani memilih berjualan nasi bungkus di dekat IMIP setelah diberitahu sanak keluarganya soal kawasan industri ini.
"Sudah lima tahun. Tadinya saya tidak bekerja, jadi khusus ke sini untuk jualan."
Sebungkus nasi putih dengan pilihan aneka lauk dihargai Rp10.000.
"Untungnya per hari rata-rata Rp500.000."
Keluarga Keri Febri memanfaatkan tanah milik keluarganya yang terletak tepat di depan IMIP dengan mendirikan dua toko kelontong dan makanan sejak 2019.
Pembelinya kebanyakan karyawan IMIP.
"Untungnya sehari bisa Rp13juta untuk satu toko," kata Keri.
Namun seiring dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi di sekitar taman nasional, tingkat polusi udara dan jalanan di Morowali juga meningkat.
Sampah yang tidak terangkut di sepanjang jalan raya Trans Sulawesi dan penyakit saluran pernapasan sudah menjadi keseharian bagi warga di Morowali dan sekitarnya.
Untuk karyawan IMIP seperti Aidhil Kurniawan, keberadaan industrial park ini seperti pedang bermata dua.
"Secara umum dampaknya bagus karena menolong banyak orang, tetapi secara lingkungan butuh evaluasi lagi, misalnya tentang dampak bagi laut."
Saat kami bertanya apakah ia tahu ada limbah dari IMIP yang dibuang ke laut, ia menjawabnya dengan diplomatis.
"Bisa dilihat sendiri. Lautnya yang tadinya biru sekarang setengahnya sudah coklat."
Juru bicara manajemen IMIP mengatakan memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah untuk membuang "limbah cair ke laut" selama suhunya di bawah 40 derajat Celcius. Namun mereka mengatakan kenaikan suhu air laut disebabkan "fenomena alam yang disebut pemanasan global" .
"Air limbah adalah air laut yang diisap menggunakan pompa, yang kemudian digunakan untuk mendinginkan mesin pembangkit listrik," kata juru bicara tersebut.
"Air laut yang telah dimanfaatkan kemudian dialirkan kembali ke laut menggunakan jaringan kanal sepanjang lebih dari dua kilometer."
IMIP mengatakan mereka menggunakan "pengumpul debu limbah", dan polusi udara disebabkan oleh lalu lintas penambangan di daerah tersebut, sedangkan sampah di pinggir jalan "disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan".Perusahaan nikel Australia di Indonesia
Salah satu perusahaan nikel yang beroperasi di IMIP adalah Nickel Industries Australia.
Chief Operating Officer Tony Green mengatakan perusahaannya berupaya meningkatkan standar lingkungannya.
Operasional Nickel Industries mencakup tiga proyek tungku tanur putar (RKEF) di dalam IMIP dan Tambang Hengjaya, sebuah deposit nikel laterit dengan tonase besar dan bermutu tinggi di dekat IMIP.
"Ada beberapa bukti faktual di luar sana bahwa tantangan lingkungan hidup belum dikelola dengan baik," kata Tony Green.
"Kami berharap dapat menjadi warga korporasi yang baik di Indonesia dan membalikkan keadaan tersebut."
Nickel Industries menerima Green Proper Award untuk lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.
Tony juga mengatakan pihaknya sudah menanam 2 juta pohon di lahan seluas 2.000 hektar untuk merehabilitasi area yang ukurannya hampir sama dengan tambang Hengjaya.
"Lokasi ini akan mulai menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal di wilayah itu, mungkin dalam waktu tiga tahun ke depan, sekitar $500 per hektar," katanya.
Mereka sudah menandatangani perjanjian dengan perusahaan energi terbarukan SENSA untuk membangun dan memelihara "proyek baterai tenaga surya" di dalam kawasan IMIP, yang akan memasok listrik ke tiga operator pemrosesan nikel perusahaan tersebut. Tambang Hengjaya juga sebagian menggunakan tenaga surya.
Bisnis Nickel Industries berfokus pada pasar baja tahan karat, namun kini ingin menjadi "produsen terdepan" nikel untuk baterai kendaraan listrik, dan baru-baru ini mengakuisisi 10 persen saham di fasilitas HNC HPAL.
Dan ada sejumlah lagi yang masih dalam tahap perencanaan.
"Kami sedang mempertimbangkan untuk membangun pabrik HPAL kami sendiri yang akan dipimpin oleh Tsingshan Group dan Shanghai Decent," kata Tony.Petani dan deforestasi
Bijih nikel laterit, jenis yang ditemukan di Indonesia, cenderung berada dekat dengan permukaan namun tersebar di wilayah yang luas, yang berarti penambangan biasanya memerlukan pembukaan lahan skala besar.
Jupri, seorang petani padi di provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki izin pertambangan nikel terbanyak di Indonesia, merasakan langsung dampak deforestasi.
Jupri mengatakan, saat musim hujan, sawah miliknya yang seluas 1,5 hektare terendam "air berwarna merah".
Di dekat sawahnya terdapat tambang nikel yang panjangnya hampir empat kilometer.
"Karena tidak ada kayu lagi, sudah dikikis orang yang menambang di atas, entah ada berapa tambang perusahaan nikel."
Akibatnya, menurut Jupri, padi menjadi kurus dan hasil panen menurun.
"Dulu bisa dapat enam sampai tujuh ton, sekarang hanya empat sampai lima," kata Jupri yang juga mengerjakan sawah milik orang lain dengan skema bagi hasil.
"Kami petani sengsara kalau musim hujan."
"Kalau airnya jernih kita petani senang, tapi ini keruh dari tambang, membuat tanah tidak subur."
Supaya bisa tetap panen, Jupri memberi pupuk lebih banyak dari jumlah normal.
Padahal, jumlah pupuk bersubsidi dari pemerintah tidak bertambah.
Jupri sadar tak ada yang bisa menghentikan aktivitas tambang di desanya.
"Kita ini orang kecil, tidak bisa berbuat apa-apa, paling berharap sama yang duduk di pemerintahan."'Teman-teman dari IMIP ... bagus'
Achmad Gunawan dari Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan pihaknya terus membina IMIP untuk mematuhi peraturan pemerintah setelah mengunjungi kawasan tersebut.
"Pembinaannya adalah harus membuat dokumen rincian teknis, harus memperbaiki ini dan itu yang terangkum dalam dokumen tersebut."
Achmad mengatakan pengambilan sampel air dan pengamatan emisi di IMIP menunjukkan sejumlah perbaikan dapat dilakukan.
"Ketiganya [limbah cair, emisi, B3 dan non-B3] masih perlu kita lakukan pembinaan sehingga akan menuju ke titik yang lebih baik."
Namun menurut Gunawan, pembinaan pun ada batasnya, dan perusahaan bisa mendapat sanksi administratif hingga pidana jika terus tidak taat.
"Tapi alhamdulillah teman-teman IMIP juga bagus, mereka mengikuti apa yang kita sarankan."
Meski pemerintah dan Kadin sering menyebut adanya peningkatan besar dalam keuntungan ekspor sebagai ukuran keberhasilan larangan ekspor nikel mentah, Krisna Gupta mempertanyakan analisis tersebut.
"Saya selalu mengatakan [nilai ekspor] bukanlah indikator yang tepat jika Anda ingin [mengukur] nilai tambah di dalam negeri," kata Krisna Gupta, dari Pusat Studi Kebijakan Indonesia.
Pemerintah Indonesia belum menerbitkan angka-angka yang memungkinkan dilakukannya analisis independen terhadap industri nikel, tambahnya.
Sementara itu, Uni Eropa mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas larangan yang dilakukan Indonesia, dengan alasan bisa membatasi akses produsen nikel di Uni Eropa. Kasus ini masih berlangsung.
Krisna mengatakan "saat ini banyak negara yang melihat ke arah Indonesia dan bertanya-tanya apakah mereka bisa lolos" dari larangan ekspor mineral mentah.
“Dalam sejarah perdagangan global modern, saya tidak yakin ada negara lain yang pernah mempunyai kebijakan seperti ini.”
Kembali ke Dusun Kurisa, Astia mengaku sudah beberapa kali menyampaikan pengaduan soal IMIP melalui kepala desa, namun tidak ada perubahan.
Hampir setiap hari dia khawatir dengan panasnya air laut yang mengalir di bawah rumahnya.
"Kalau siang, hawa panas dari atas dan bawah, atas kan matahari, di bawah air panas."
Meski IMIP menghubungkan penurunan stok ikan dengan meningkatnya populasi yang kini tinggal di Morowali, JATAM mengatakan ikan di wilayah tersebut telah mati karena suhu air laut yang hangat.
Apapun yang terjadi, bagi nelayan seperti Sakka, tidak punya banyak pilihan lain.
Bagi mereka, seiring dengan dimulainya industri nikel di Indonesia, mereka tidak akan menjadi bagian dari revolusi energi ramah lingkungan dunia.
Bagi mereka, bertahan hidup adalah satu-satunya ukuran kesuksesan.Tim Penyusun
Reportase, videografi, dan fotografi: Hellena SouisaVideografi dan fotografi: Yusuf Priambodo, Riza SalmanGrafis dan desain: Jarrod FankhauserProduser: Sally BrooksEditor: Will Jackson dan Christina Zhou
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Indonesia di Australia Ingin Mendukung Palestina, tetapi Ada Ketakutan