jpnn.com, JAKARTA - Praktisi keamanan siber Pratama Persadha menyarankan pejabat penting pemerintah tidak bermain TikTok bila memang khawatir.
Pratama menjelaskan masyarakat dunia dan netizen Indonesia yang sedang gandrung bermain TikTok cukup resah dengan berbagai isu miring terkait aplikasi media sosial berbasis video dari Tiongkok ini.
BACA JUGA: Tok tok tok, Pemerintah AS Blokir TikTok
Menurut dia, TikTok seperti halnya Huawei juga ikut terseret dalam perang dagang AS-Tiongkok, dituduh menjadi alat spionase pemerintah Negeri Tirai Bambu itu.
Apalagi sekarang adanya persaingan big data yang membuat siapa pun pemilik platform populer bisa membantu mengendalikan dunia.
BACA JUGA: Ya Ampun, Kepala Dinas Kehilangan Jabatan Gara-gara Joget TikTok di Atas Meja
Misalnya data Facebook yang diduga digunakan untuk memenangkan Donald Trump saat Pilpres AS dan kubu Brexit di Inggris.
Menurut dia, TikTok menarik perhatian sudah sejak lama.
BACA JUGA: TikTok Dilarang, Instagram Ambil Kesempatan Melalui Reels
Bahkan, pendiri Facebook Mark Zuckerberg menyatakan TikTok bisa melewati Instagram.
"Faktanya TikTok dua tahun terakhir memang berhasil mengalahkan Instagram dengan total lebih dari 625 juta unduhan," kata Pratama.
Dia menjelaskan bahwa peningkatan pengguna TikTok yang sangat cepat juga terbantu oleh pemerintah Tiongkok yang melarang Instagram dan Facebook beroperasi di negara mereka.
Akibatnya pemakai TikTok di Tiongkok menjadi sangat besar. Pada akhirnya TikTok sekarang mengglobal dengan total download mencapai lebih dari 1,65 miliar.
Bahkan TikTok dalam waktu dekat akan merilis model monetize atau kerja sama iklan sehingga user-nya bisa mendapatkan pemasukan seperti di YouTube dan Facebook.
Selain itu salah satu hal yang dianggap sebagai keunggulan TikTok oleh para pemakainya adalah karena platform tersebut tidak mengenal copyright.
Akibatnya pengguna bisa memakai berbagai musik dan video tanpa khawatir terkena take down seperti di FB, IG dan YouTube.
Namun di tengah melambung namanya, TikTok terkena larangan instal dan beroperasi di kawasan Amerika Serikat dan India, dengan alasan keamanan.
"Uni Eropa melakukan pengawasan ketat data TikTok ke mana saja dan akan diolah seperti apa, meskipun tidak sampai melarang seperti di AS.
Pertama yang selalu dicek adalah privacy policy. Hal di mana zoom juga tersandung karena ada perihal pengumpulan data yang tidak disampaikan di privacy policy,” jelas Pratama, Sabtu (25/7).
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini mengatakan tuduhan terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas collecting data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke Tiongkok.
"CISSReC melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi TikTok ini. Dari hasil analisis CISSReC, aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan," ujarnya.
Bahkan saat dites dengan malware analysis yang menggunakan sample dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan.
“Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi. Bila memang mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tetapi Google akan menghapus TikTok dari playstore mereka, tetapi hal ini juga tidak dilakukan Google,” terang pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.
Di Eropa yang dilakukan adalah pengawasan data, karena menjadi perhatian serius bagi masyarakat dunia, berbagai tuduhan bahwa TikTok digunakan spionase. Sebenarnya hal yang sama juga bisa diarahkan ke AS, apalagi negara pimpinan Donald Trump memiliki aturan Foreign Surveillance Act yang memungkinkan pihak aparat di sana untuk masuk dan mengambil data raksasa teknologi.
“Yang paling masuk akal dilakukan adalah para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok, bila memang khawatir," kata dia.
Menurut dia, bila masyarakat mau memakai sebenarnya tidak ada masalah.
"Namun bila memang ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari digunakan,” jelasnya.
Pratama menambahkan, TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna.
Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan untuk mata-mata.
Namun kalau dulu ada game pokemon yang ternyata tuduhannya sebagai aplikasi mata-mata juga tidak terbukti. Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut.
“Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dipotimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan,” ungkapnya.
Pratama menyarankan untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi pengguna di masing- masing gawai lewat permission di tiap aplikasi. Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi, yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon, telepon, log dan lainnya.
Kebanyakan pengguna meremehkan, menganggap pesan tersebut hanya informasi saja padahal sangat penting. Berikut cara menyeting pengaturan untuk permission pada aplikasi TikTok yang juga bisa digunakan untuk aplikasi lainnya secara berurutan. Klik di bagian Setting. Klik Apps. Pilih TikTok Lalu pilih App permissions.
Lihat bagian yang diakses untuk kamera, kontak, lokasi, ruang penyimpanan, dan lainnya.
"Bisa digeser untuk menonaktifkan izin aplikasi dan mengubah akses perangkat," pungkasnya. (boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy