jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Pemerintah menaikan cukai rokok rata-rata sebesar 10 % selama dua tahun berturut turut, pada periode 2023 dan 2024 mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, terutama kalangan pelaku industri hasil tembakau (IHT).
Kebijakan yang diambil pada saat masih terjadi krisis ekonomi selain akan semakin berdampak pada pengurangan tenaga kerja, juga akan semakin menyusahkan pelaku ekonomi kecil khususnya UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) yang selama ini banyak jualan produk dari IHT.
BACA JUGA: Soal Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok, Sri Mulyani: Sudah Dikelola..
“Kenaikkan cukai rokok yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, tanpa mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi cukup ampuh buat menurunkan produksi sigaret bercukai atau rokok legal yang pada akhirnya banyak Perusahaan Rokok yang tutup atau mati,” ujar Ketua Umum APTI Provinsi NTB Sahmihuddin.
Sahminudin menegaskan, apabila perusahaan rokok banyak yang mati, selain menutup lapangan pekerjaan, menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di kalangan buruh atau pegawai industri rokok, juga makin menyengsarakan petani tembakau yang tersebar di seluruh Indonesia.
BACA JUGA: PT PP Naik Kelas jadi Perusahaan Kategori Informatif
“Saat ini terdapat sekitar 6 juta tenaga kerja di sekitar industri tembakau baik langsung maupun tidak langsung. Ketika setiap tahun pemerintah menaikan cukai rokok dengan angka yang sangat tinggi, jelas membuat perusahaan rokok perlahan lahan akan mati. Apakah pemerintah sudah siap menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja dari sektor IHT yang kehilangan pekerjaan,” tutur Sahmihudin.
Pendapat yang sama disampaikan peneliti ekonomi yang juga dosen pada FEB UB Imaninar Eka Delila.
BACA JUGA: Pelaku IHT Minta Pemerintah Menunda Kenaikan Cukai
Menurutnya, setiap pemerintah menaikkan harga rokok, di mana konsumen rokok sebagian besar masih akan tetap mempertahankan konsumsi rokoknya, maka rokok berpotensi mendorong kenaikan angka inflasi di Indonesia.
Kedua, dengan adanya kenaikan harga rokok ketika terjadi kenaikan harga barang-barang lainnya, maka daya beli masyarakat akan turun, sehingga para perokok akan tetap merokok dengan beralih pada harga rokok yang lebih murah, bahkan rokok ilegal.
“Kenaikan harga rokok ketika daya beli masyarakat mengalami penurunan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Kenaikan harga rokok yang saat ini telah melewati titik optimumnya dapat mengancam keberlangsungan IHT dan berdampak pada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya dari hulu-hilir,” papar Imanina.
“Harapan kami agar kebijakan menaikan cukai rokok ditinjau lagi. Kalaupun tetap naik, kenaikannya satu digit saja atau sekitar 7-8 persen saja tidak naik setinggi itu,” sambung Ketua Umum Gaprindo Benny Wachyudi.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada