jpnn.com - JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menuai protes.
Para pelaku industri rokok elektronik memprotes sejumlah pasal yang secara tegas mengatur ketentuan kemasan polos tanpa merek dalam RPMK dimaksud.
BACA JUGA: Selamat, FIFGroup Raih Penghargaan The Best Multifinance 2024
Mereka menilai hal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Nomor 17/2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Para pelaku industri rokok elektronik juga menilai kehadiran beleid dimaksud akan makin memperlemah kinerja industri rokok elektronik dan mengancam hilangnya pendapatan negara, hingga serapan tenaga kerja di industri yang mayoritas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
BACA JUGA: Perry Barman Slangor Resmi Menjabat Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia
Menurut Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Budiyanto semua lini di industri rokok elektronik akan sangat terdampak. RPMK berpotensi besar mendorong tumbuhnya peredaran rokok elektronik (Rel) ilegal yang tidak berpita cukai di pasaran.
"Kami tidak sepakat dengan aturan ini, mengingat industri rokok elektronik bukan hanya sebagai solusi alternatif menurunkan risiko terhadap adiksi. Ada banyak faktor yang turut serta dalam industri rokok elektronik seperti industri kreatif, content creator, bahan baku dan lainnya. Pengaturan kemasan yang terlalu ketat akan membatasi inovasi dalam industri kreatif," ujar Budiyanto dalam keterangannya, Senin (1/10).
BACA JUGA: ASDP Dinobatkan sebagai Perusahaan Terbaik Human Capital 2024 di Ajang IHCA X
Budiyanto lebih lanjut mengatakan pemerintah seharusnya melihat kebijakan tersebut secara komprehensif, bukan hanya melihat dari sisi preventif.
Pasalnya, industri rokok elektronik cukup memberikan kontribusi dalam membuka lapangan pekerjaan baru dan pemasukan bagi pemerintah.
Dia menilai industri rokok elektronik dapat berpartisipasi mendukung misi besar pemerintahan yang baru mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar delapan persen. Asal didukung regulasi yang melindungi kelangsungan usaha.
“Industri rokok elektronik memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan. Namun, regulasi yang ada saat ini justru mengancam pertumbuhan industri ini. Kami berharap pemerintah dapat bekerja sama untuk meninjau kembali regulasi ini, demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan," katanya.
Sementara itu praktisi hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hari Prasetiyo menilai kehadiran RPMK seharusnya memperkuat aturan yang ada di dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP 28/2024.
Bukan membuat pengaturan yang bertentangan dengan keduanya.
"Wacana kemasan polos tanpa merek berpotensi menimbulkan permasalahan baru seperti persaingan usaha, isu perlindungan konsumen, isu Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan pengendalian tembakau tanpa ratifikasi," ucapnya.
Menurut Hari, aturan mengenai kemasan polos tanpa merek terkesan dipaksakan. Alih-alih mempertimbangkan profil risiko, pemerintah hanya fokus kepada aturan kemasan polos saja.
"Ini tidak bijak dilakukan pemerintah. Harus ada usaha lebih untuk memastikan bahwa edukasi itu sudah cukup disampaikan kepada masyarakat," katanya.
Hari juga menilai sangat penting seluruh pemangku kepentingan ikut andil dalam merumuskan aturan yang berdampak langsung bagi pelaku usaha. Tujuannya, untuk menghindari kerugian pada salah satu pihak.
"Pelaku usaha tertekan, masyarakat tidak diuntungkan. Siapa yang mau dilayani sebenarnya oleh aturan ini? Cukai terdampak, peredaran rokok ilegal pasti ada. Untuk apa Kementerian Kesehatan membuat peraturan yang merumitkan diri sendiri?" kata Hari. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bea Cukai Jakarta Beri Izin Perlakuan Tertentu pada PT Dua Kuda Indonesia, Ini Harapannya
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang