jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rahman mengatakan pasar internasional yang menjadi tujuan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia, masih belum pulih akibat pandemi Virus Corona (COVID-19).
Karena itu, pemerintah diharapkan dapat memberi perlindungan terhadap pasar TPT nasional domestik dari serbuan produk-produk impor.
BACA JUGA: Moeldoko Kagum dengan AWR Kementan
Rizal menyatakan hal tersebut dalam webinar 'Kebangkitan Industri Tekstil Indonesia' di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (1/7).
Webinar diselenggarakan Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) FISIP Universitas Nasional bekerja sama dengan FISIP UNHAS Makassar.
BACA JUGA: Prabowo dan Dirjen WHO Bertemu di Jenewa, Bahas Hal Penting!
Rizal mengatakan barang yang diimpor ke Indonesia tidak hanya sisa ekspor dari negara lain, tetapi juga pakaian bekas yang kini banyak diperjualbelikan di Indonesia.
Khususnya pada platform belanja online dan media sosial.
BACA JUGA: Ada Kejutan dari Panglima TNI untuk Kapolri, Lihat Deh Fotonya
Padahal, impor barang bekas telah dilarang dalam Permendag Nomor 51 Tahun 2015.
Untuk itu API menuntut pemerintah memberikan jaminan pasar domestik bagi industri dalam negeri dengan memberlakukan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) produk kain dan pakaian jadi.
“BMTP tidak mengganggu kinerja ekspor, karena tidak mempengaruhi penyediaan bahan baku produsen pakaian tujuan ekspor yang mayoritas berada di Kawasan Berikat (KB) atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE),” ujar Rizal.
Data API menunjukkan, ekspor TPT Indonesia terus mengalami penurunan dari USD 13,22 miliar (2018) menjadi USD 12,84 miliar (2019) dan terakhir USD 10,55 miliar (2020).
Menurut Rizal, pada kuartal I/2021 pasar ekspor TPT Indonesia kembali mengalami perlambatan pertumbuhan karena belum pulihnya kondisi negara tujuan akibat pandemi Covid 19.
Dalam kesempatan itu Rizal juga menyampaikan, bahwa industri TPT Indonesia telah terintegrasi dari sektor hulu hingga ke hilir.
Hampir seluruh bahan baku TPT telah dapat diproduksi di dalam negeri.
Meski demikian, kurangnya investasi bagi industri bahan baku dalam negeri menyebabkan terputusnya mata rantai pasok dalam negeri.
“Dibutuhkan dorongan investasi pemerintah, terutama pada sektor hulu yang padat modal untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri TPT dalam negeri,” katanya.
Sementara itu Vice President PT Sucofindo (Persero) Soleh R. Maryam dalam paparannya menyatakan industri TPT merupakan salah satu industri andalan.
Nilai ekspor produknya pada 2019 mencapai USD 12,9 miliar dan telah menyerap 3,74 persen tenaga kerja, dengan 1,1 juta industri Kecil Menengah (IKM).
Namun diakui industri TPT sangat terdampak oleh pandemi Covid 19, sebagaimana terlihat dari pertumbuhan negatif 5,41 persen pada 2020.
Selain itu, volume produksi sempat anjlok hingga 85 persen, dan utilisasi hanya 5,05 persen.
Masalahnya, lanjut Soleh, industri TPT nasional saat ini menghadapi tekanan impor yang berat.
Selain itu, industri TPT nasional juga dihadapkan dengan kondisi menuanya mesin-mesin dan tingginya ongkos produksi.
“Industri TPT nasional perlu diberikan insentif, baik dalam bentuk tax deduction maupun penurunan harga gas bagi industri hulu tekstil,” ucapnya.
Sementara itu ekonom Prof I Made Adnyana berharap pemerintah memperkuat kebijakan pada industri TPT.
Caranya, membuka peluang berinvestasi dengan memberikan kemudahan dan keringanan biaya.
“Juga beri kesempatan kepada industri kecil dan menengah dan dorong munculnya semangat transformasi struktural kepada industri TPT untuk memperkuat daya saing,” pungkas Adnyana.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang