Pelaku Pelecehan Seksual Ditelanjangi di Halte Busway

Kamis, 04 September 2014 – 07:54 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pelecehan seksual di dalam Bus Transjakarta (Busway) masih terus terjadi. Terbaru, seorang pelakunya ditangkap dan ditelanjangi di halte Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Dengan hanya bercelana kolor, pelaku dipajang di halte dengan sebuah tulisan ’Pelaku Pelecehan Seksual’ dari karton digantungkan di dadanya. Pro kontra atas peristiwan tersebut marak.

BACA JUGA: Ponpes Terbakar, Santri Tewas Terpanggang

Di satu sisi, tindakan memajang pelaku pelecehan seksual tersebut masuk kategori main hakim sendiri. Tetapi di sisi lain, kekesalan masyarakat sudah tidak bisa dibendung lagi dengan maraknya pelaku pelecehan seksual yang memanfaatkan momen berdesak-desakan  di dalam busway.

Sayangnya, pihak pengelola busway seakan tidak melakukan apa-apa untuk mengatasi permasalahan tersebut.

BACA JUGA: 445 Calon Jemaah Haji Kota Tangerang Diberangkatkan

Kasus pelecehan terakhir terjadi pada Senin, 1 September 2014, di koridor VIII jurusan Harmoni-Lebak Bulus. Seorang penumpang perempuan dipegang dan diremas bokongnya oleh pelaku yang bernama Yeremias H.

Tak ayal, korban pun berteriak sehingga didengar penumpang lain dan petugas penjaga busway yang berada di bus gandeng Damri bernomor 5080.

BACA JUGA: Pedagang Tewas Didor Perampok

Karena ulahnya itu, pelaku yang merupakan warga Tambora, Jakarta Barat, dihukum petugas dan warga dengan ditelanjangi dan dipajang di halte busway. Tidak cukup sampai di situ, pelaku juga dikalungi sebuah kertas karton bertuliskan 'Pelaku Pelecehan Seksual'.

Setiap calon penumpang dan warga yang berlalu lalang di Lebak Bulus akan disuguhi pemandangan yang ‘aneh’ tersebut. Sejumlah pihak menganggap hukuman itu pantas untuk pelaku pelecehan seksual. Tetapi, di pihak lain, hukuman itu dianggap terlalu berlebihan karena tanpa didahului dengan pembuktian.

Maraknya aksi pelecehan seksual di busway diakui oleh Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta, Pargaulan Butar Butar. Dia mengaku kewalahan dengan maraknya aksi pelecehan seksual di busway. Upaya pencegahan, dengan menempatkan petugas di dalam busway tidak membuahkan hasil.

Pemisahan antara penumpang lelaki dan perempuan juga tidak berjalan mulus, karena keterbatasan jumlah armada busway.

"Bukannya kita pasrah dengan aksi pelecehan seksual. Tapi upaya yang kita lakukan, sejauh ini memang kita akui belum efektif," ujar Pargaulan pada INDOPOS (Grup JPNN), Rabu (3/9).

Terkait tidak adanya tindak lanjut terhadap pelaku pelecehan seksual, Pargaulan membantah. Menurutnya, para pelaku yang tertangkap selalu mendapat hukuman yang setimpal. Mereka diserahkan kepada pihak kepolisian.

"Untuk kasus yang di Lebak Bulus memang tidak diserahkan ke polisi. Namun pelaku sudah dihukum dengan ditelanjangi, dan korban juga tidak meneruskan ke polisi," tuturnya.

Lebih lanjut, Pargaulan mengatakan, pihaknya ke depan akan memasang kamera CCTV di seluruh armada busway. Saat ini, memang sudah ada beberapa armada yang dipasang CCTV.

Namun jumlahnya masih sedikit. "Sekarang yang dipasang baru busway koridor delapan. Ke depan semua koridor dipasangi CCTV, salah satu tujuannya untuk mencegah pelecehan seksual," tegasnya.

Pengamat transportasi yang juga mantan Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, mengaku sejak lama telah kecewa dengan pelayanan Transjakarta. Sebab, manajemen tidak mampu memberikan rasa aman pada pengguna. Untuk itu, Tigor berencana melakukan gugatan hukum kepada Transjakarta dan Pemprov DKI.

"Kalau terus menerus mengabaikan keselamatan warga, kami akan menggugat Transjakarta dan pemprov," ketusnya.

Menurutnya, kasus pelecehan seksual dan busway terbakar, sudah menjadi bukti kelalaian pengelola busway. "Kami akan segera mempersiapkan gugatan ini," ucapnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mengaku tidak keberatan dengan hukuman dari para penumpang yang geram itu. "Boleh juga," tukas pria yang akrab disapa Ahok itu. Menurutnya, hukuman tersebut efektif untuk menciptakan efek jera.

Sementara itu, tindak main hakim yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku pelecehan seksual di busway, dinilai sangat memalukan. Sikap spontan pengguna Busway tersebut merupakan bukti tidak hadirnya negara dalam perlindungan warganya.

Ketua Komnas HAM, Siti Noor menilai tindakan masyarakat itu tidak dapat dibenerakan dalam prespektif hukum. Bahkan dapat pula menjadi persoalan baru dalam penuntasan kasus pelecehan seksual di Busway.

“Pelecehan seksual itu jelas pidana. Pelakunya harus dihukum. Tetapi tindak main hakim sendiri terhadap pelaku pelecehan juga merupakan pelanggaran. Ini yang harusnya dapat dipahami,” ujar Siti Noor usai menggelar rapat di kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jakarta, Rabu (3/9).

Dia tak mengingkari muncul kekecewaan masyarakat terhadap proses hukum yang terjadi selama ini. Terutama berkaitan pada kasus-kasus pelecehan seksual di dalam angkutan umum. Kerap tidak memberikan efek hukum yang efektif bagi pelaku.

Sikap kecewa masyarakat itu, sambung dia, tersirat dalam upaya tindak main hakim sendiri. Memperlakukan pelaku secara tidak manusiawi di ruang publik. Tujuannya agar memberikan efek hukum yang efektif bagi pelaku-pelaku lainnya.

“Bisa dipahami tindakan itu. Tetapi tak boleh dijadikan alasan pembenaran. Penegakan hukum harus tetap dijaga. Dengan menghormati semua proses hukum,” paparnya.

Pada sisi lain, lanjut Siti munculkan amarah kolektif pengguna busway terhadap pelaku pelecehan seksual juga menjadi pukulan bagi negara. Karena membuktikan tidak hadirnya aparatur negara yang berkewajiban melindungi warganya.

Menurutnya tidak hadirnya aparatur negara dalam segala bentuk penegakan hukum itu merupakan catatan terburuk. Sepatutnya aparatur negara, yakni polisi dapat secara proaktif dan siaga meredam amarah pengguna busway itu. “Seharusnya polisi langsung bertindak. Ini kejadian kan bukti tidak ada polisi di lokasi,” pungkasnya.

Meski demikian dia meminta masyarakat tidak lagi mengulangi tindak main hakim sepihak. Biarkan penegak hukum yang melakukan upaya sanksi tersebut. Dengan mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), Hamidah Abdurahman menambahkan amarah masyarakat terhadap pelaku kejahatan merupakan fenomena sosial yang harus disikapi cepat. Terutama para penegak hukum harus responsif terhadap fenomena tersebut.

”Kompolnas meminta polisi tak tinggal diam. Kasus kekerasan massa terhadap pelaku kejahatan itu juga sebuah kejahatan serius. Harus diambil langkah cepat,” pintanya.

Namun dia meminta sikap polisi terhadp sikap masyarakat yang tidak terpuji itu bukan lah dilakukan pendekatan hukum. Tetapi lebih pada pendekatan personal. Agar tidak lagi mengulangi sikap serupa pada pelaku kejahatan lainnya. Jika dilakukan dalam pendekatan hukum, Hamidah meyakin bakal muncul pandangan kriminalisasi masyarakat. Itu lebih tidak produktif dalam penyelesaian kekerasan yang dilakukan massa. (wok/rko)

Tiga Modus Pelecehan Seks di Busway

Gesekkan kelamin ke badan korban
-    HS, 30 tahun, mengeluarkan alat kelaminnya untuk digesekkan ke tubuh korban di busway Koridor Pluit-Pinang Ranti. Bahkan pelaku sempat orgasme sebelum korban berteriak minta tolong. Pelaku lain yang ditangkap JH, 29.
Remas Tubuh Korban
-    Berpura-pura berdesakan, pelaku meremas, menggerayangi atau mengelus-elus bagian tubuh korban.
Rekam Pakaian Dalam Korban
-    Pelaku memakai handphone berkamera dan merekam pakaian dalam korban saat sedang antre atau berdesakan. Korban biasanya yang memakai rok mini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Djoko Santoso Akui Satu Unimog yang Sempat Disita Miliknya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler