jpnn.com, JAKARTA - Peluang ekspor tanaman hias Indonesia masih terbuka lebar saat ini. Permintaan dari negara-negara di dunia masih cukup tinggi dengan pertumbuhan pasar sebesar 10,24 persen pada 2026.
“Peluang (ekspor tanaman hias) sangat besar. Perkiraannya tumbuh 10 persen hingga 2026,” kata pemilik RAV House PT Ravindo Sukses Mulia Redi Fajar Kurniawan dalam diskusi daring Alinea Forum bertema “Peluang Besar Ekspor Tanaman Hias” yang digelar Alinea.id belum lama ini.
BACA JUGA: Jakarta Plant Market Segera Digelar, Pencinta Tanaman Hias Yuk Merapat!
Menurut Redi, dalam lima tahun terakhir tren hobi tanaman hias meningkat.
Penyebabnya, selain pandemi Covid-19 yang memaksa orang banyak beraktivitas di rumah, juga dipicu oleh kalangan milenial yang lebih memilih merawat tanaman hias ketimbang hewan peliharaan.
BACA JUGA: Petani Milenial Bogor Kembangkan Tanaman Hias Berdaun Indah, Diminati Hingga Mancanegara
“(Data) sales kami selama 2019, 2020, dan 2021 (mencermikan itu). Jadi di April sampai Agustus 2020 itu terjadi peningkatan yang sangat-sangat signifikan dalam hal value yang kita ekspor,” kata Redi.
Saat ini pasar tanaman hias secara global mencapai US$27 miliar atau sekitar Rp400 triliun yang didominasi Belanda di urutan pertama.
BACA JUGA: Ekspor Tanaman Hias Indonesia Moncer di Kala Pandemi, Naik Hingga 69,7%
Indonesia masih kalah dari negara Asia lain, seperti Thailand dan Vietnam, meski memiliki plasma benih lebih beragam.
Salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia adalah belum adanya pemahaman dari eksportir dan para pihak lain terkait phytosanitary di negara tujuan. Akibatnya, ekspor tanaman hias menghadapi penolakan di negara tujuan.
“Syarat-syarat karantina tumbuhan belum dipahami. Masih banyak pengiriman tanaman itu yang tidak ada PC (phytosanitary certificate)-nya,” kata Sub Koordinator Benih Ekspor dan Antararea, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Newani Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian, Aulia Nusantara, dalam acara yang sama.
Selain masih minimnya pemahaman tentang sertifikasi kesehatan tanaman (phytosanitary certificate/PC), jelas Aulia, para pelaku usaha tanaman hias masih banyak yang belum mengerti bahwa persyaratan ekspor di setiap negara tujuan berbeda-beda.
Contohnya, ekspor tanaman hias berjumlah lebih 12 batang ke Amerika Serikat harus memiliki izin impor yang diterbitkan menteri pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian.
“Australia paling ketat karena selain harus bebas dari OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dan dokumen fitosanitari, tanaman yang sampai di Australia tidak bisa langsung diambil atau di-release oleh custom (beacukai) sana. Tapi harus didiamkan selama 3 bulan di fasilitas karantina pemerintah Australia,” kata Aulia.
Oleh karena itu, masih ditemukan kasus penolakan atau bahkan pengembalian tanaman ke negara asal karena misinformasi tersebut.
“Kalau tidak memenuhi persyaratan negara tujuan itu akan ada notifikasi ketidaksesuain, sseperti teguran dari negara tujuan bahwa ini lho tanaman yang dikirim tidak sesuai dengan syarat kami. Kemudian penolakan. Biasanya notifikasi ketidaksesuaian disertai dengan tindakan penolakan atau direekspor (ke negara asal),” papar Aulia.
Meski Barantan menyediakan dukungan penuh bagi para calon eksportir atau eksportir tanaman hias, seperti bimbingan teknis dan sosialisasi, tetapi para pelaku usaha disarankan gigih mencari informasi secara mandiri.
“Karena katakanlah sekali ada eksportir yang tidak comply (patuh) dengan persyaratan yang ditentukan, dampaknya akan ke mana-mana. Bukan hanya ke dia, eksportir lain juga bisa kena. Bahkan negara kita bisa di-banned (dilarang) untuk kasus tanaman-tanaman jenis tertentu,” kata Redi.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi