jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menilai pengumuman Presiden RI mengenai pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng menimbulkan konflik antara petani sawit dan perusahaan kelapa sawit.
Hal ini disebabkan sentra produksi sawit di berbagai daerah telah menetapkan harga beli TBS (tandan buah segar) secara sepihak yang merugikan petani sawit.
BACA JUGA: Saran dari Prof Romli untuk Penanganan Kasus Dugaan Mafia Minyak Goreng, Begini
“Pengumuman Presiden ini langsung berdampak merugikan petani sawit sehingga memunculkan masalah baru dan tidak menyelesaikan persoalan minyak goreng di tanah air. Hal ini patut disayangkan karena petani menjadi korban dari rencana kebijakan ini,” ujar Johan dalam siaran pers pada Selasa (26/4).
Politikus PKS ini juga menilai pemerintah tidak konsisten dalam memberlakukan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dengan menjadikan CPO tidak termasuk ke dalam produk sawit yang dilarang ekspor.
BACA JUGA: Persoalan Minyak Goreng Sampai Berbulan-bulan, Masinton: Enggak Masuk Akal
“Kami mempertanyakan apa tujuan pelarangan ekspor yang hanya diterapkan kepada RBD Palm Olein, sementara dampak dari rencana ini malah berakibat buruk bagi petani sawit,” ucap Johan.
Johan menilai efek dari kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan meroketnya harga minyak goreng di tanah air, malah menjadi ancaman bagi pendapatan petani sawit yang jumlahnya mencapai 3 juta kepala keluarga.
BACA JUGA: Sah! Pemerintah Larang Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng
Dia menyesalkan rencana kebijakan yang tidak fokus untuk mengatasi melambungnya harga minyak goreng dan malah merugikan petani sawit.
Seharusnya, kata dia, pemerintah menggunakan paradigma kebijakan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dosmestik baru sisanya diekspor karena persoalan utama dari melambungnya harga minyak goreng adalah kelangkaan CPO di dalam negeri akibat terus diekspor.
“Kebutuhan CPO di dalam negeri itu kan sekitar 17,35 juta ton, namun yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya ada sekitar 9,79 juta ton saja, karena CPO yang kita ekspor mencapai 37,39 juta ton, inilah harusnya persoalan utama yang mesti segera diatasi pemerintah” tegas Johan.
Wakil rakyat dari dapil NTB 1 ini menilai tidak ada gunanya melarang ekspor bahan baku minyak goreng hanya terbatas pada RBM palm oil dan tidak melarang ekspor CPO.
“Pemerintah harus sadar bahwa saat ini kebutuhan CPO dalam negeri hanya menjadi sisa dari ekspor yang berimplikasi kelangkaan CPO dalam negeri, jadi rencana kebijakan ini tidak menyelesaikan persoalan minyak goreng di tanah air,” sesal Johan.
Johan berharap pemerintah memiliki keberpihakan pada petani sawit dan jangan tunduk pada keinginan pelaku pasar, menurutnya negara harus hadir untuk mengutamakan kepentingan dosmestik sampai harga minyak goreng kembali normal.
“Saya menilai pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng namun terus membolehkan ekspor CPO merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah mengutamakan kepentingan nasional dibanding kepentingan pasar global,” ujar Johan Rosihan.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari