jpnn.com, JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD ternyata tidak mendongkrak ekspor. Depresiasi kurs lebih banyak merugikan karena produksi barang ekspor pun bergantung bahan baku impor.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara menyatakan, komponen bahan baku impor seperti farmasi sudah di atas 70 persen.
BACA JUGA: Tenang, BI Cukup Amunisi Redam Pelemahan Rupiah
”Kalau impor bahan baku mahal, akan pengaruhi cost produksi dan imbasnya pada harga produk yang lebih mahal. Termasuk jika dilemparkan ke pasar dalam negeri,” kata Bhima kemarin.
Bhima menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah juga berimbas pada potensi kenaikan harga BBM.
BACA JUGA: Tenang, Tekanan Kurs Hanya Sementara
Sebagai nett importer minyak, harga BBM di Indonesia banyak terpengaruh oleh nilai rupiah terhadap dolar AS.
”Jika kondisi ini berlanjut, pengusaha harus bersiap jika BBM nonsubsisdi akan banyak penyesuaian,” ungkap Bhima.
BACA JUGA: Ya, Semoga Saja Tekanan Terhadap Rupiah Hanya Sementara
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) sekaligus Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menegaskan bahwa rupiah memang tidak melemah sendirian.
Namun, pengusaha tetap waspada karena beberapa sektor cukup sensitif menghadapi nilai tukar rupiah yang melemah.
”Sektor yang terpukul ada importer uang menggunakan USD, tapi income-nya adalah rupiah,” katanya.
Menurut Benny, para pengusaha harus memiliki mekanisme hedging alias lindung nilai untuk menghadapi terpaan kurs.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menambahkan, Bank Indonesia (BI) perlu meningkatkan volume operasi pasarnya jika ingin rupiah setara dengan yang diasumsikan dalam APBN 2018.
Yakni, Rp 13.400 per USD. Bekal cadangan devisa sebesar USD 131,98 miliar dinilai sangat cukup untuk menormalkan volatilitas rupiah. Namun, konsekuensinya, cadangan devisa bisa terdepresiasi.
”Ini seperti yang dilakukan pada 2016. Ketika itu cadangan devisa turun USD 4 miliar untuk mengintervensi pasar menjelang kuartal akhir,” katanya saat pelatihan wartawan ekonomi kemarin.
Menurut Eko, selama ini BI lebih banyak menjaga volatilitas rupiah, tapi tidak langsung menyasar titik rupiah pada angka tertentu agar mencerminkan fundamental ekonomi.
Sementara itu, tahun ini pasar mempunyai ekspektasi Bank Sentral AS (The Federal Reserve) bakal menaikkan suku bunga acuannya tiga hingga empat kali.
Menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC), USD selalu diproyeksikan menguat terhadap mata uang emerging markets seperti Indonesia.
”Memang pelemahan kali ini temporer. Tapi, kalau temporer terus-terusan kan lama-lama akan menjadi aspek fundamental. Kalau sekarang dibilang sudah undervalued, kan enggak bisa gitu terus-terusan,” ujar Eko. Sebelumnya BI menyebut nilai rupiah yang sesuai fundamental adalah Rp 13.200 hingga Rp 13.300 per USD.
Jika pemerintah ingin rupiah dihargai Rp 13.400 sesuai asumsi APBN, intervensi pasarnya harus diperbesar. Jika tidak, rupiah akan sulit kembali ke angka itu. Eko pun memperkirakan rupiah pada akhir tahun akan mencapai Rp 13.500 sampai Rp 13.600. Kecuali, jika menjelang akhir tahun ada operasi pasar besar-besaran.
”Pada momen-momen tertentu cadangan devisa harus benar-benar digunakan. Jangan hanya volatilitasnya saja yang dijaga, tapi harus benar-benar kelihatan dari nominal exchange rate-nya,” sambung Eko.
Akhir pekan lalu (2/3) kurs tengah BI menunjukkan rupiah menguat tipis 0,34 persen ke level Rp 13.746 per USD.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, pelemahan rupiah sebaiknya tidak ditanggapi berlebihan.
”Kalau kita sudah ambil posisi ekstrem ke Rp 14 ribu, ya bisa saja. Tetapi, yang lebih penting kan confidence kita harus kita jaga. Arahkan pandangan ke situ,” tuturnya. (agf/ken/rin/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kurs Rupiah Terendah, Ini Daftar Risikonya
Redaktur & Reporter : Soetomo