jpnn.com - JAKARTA - Kekhawatiran dunia usaha terhadap terus melemahnya rupiah terhadap dolar AS ditepis oleh Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter tersebut menilai level pelemahan rupiah masih dapat mengompensasi kinerja industri di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah menyebutkan, hasil stress test BI terhadap rupiah hingga di level sekarang masih terhitung aman. Merujuk data nilai tukar rupiah berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) BI, rupiah akhir pekan lalu ditutup pada posisi 11.977 per USD. Sepanjang tahun ini, rupiah telah terdepresiasi sekitar 24 persen year to date (ytd).
BACA JUGA: DHE Tak Wajib Dirupiahkan
"(Industri) Masih solid. Karena ada indikasi importer tidak serta merta menaikkan harga. Mereka negosiasi dengan principal di luar negeri untuk mengurangi margin," ungkap Difi kepada Jawa Pos.
Menurutnya, margin alias keuntungan bersih importer masih cukup tinggi untuk menahan shock atas depresiasi rupiah tersebut. Hal tersebut terlihat dari kinerja emiten atau perusahaan terbuka yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI).
BACA JUGA: Aset Perbankan Syariah Rp 227 Triliun
"Prospeknya masih bagus dan cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi yang direvisi menjadi sekitar 5,8 persen sebenarnya masih cukup baik bagi pelaku usaha. Seperti pengalaman krisis di masa lalu, pengusaha kita itu pintar mencari siasat," jelasnya.
Upaya stress test dilakukan secara berkala untuk menguji ketahanan perbankan terhadap gejolak makro ekonomi, salah satunya pergerakan nilai tukar rupiah. Hal itu terkait dengan beberapa sektor industri yang menjadi kreditur perbankan. Yakni, apakah depresiasi rupiah i memicu limbungnya perusahaan dan gagal bayar, sehingga menorehkan rapor merah terhadap rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
BACA JUGA: Konversi BBM ke BBG Indonesia Tiru Peru
Faktanya, hingga akhir kuartal ketiga 2013, dari total kredit impor sebesar Rp 65,8 triliun, hanya mencetak NPL Rp 772 miliar. Jumlah itu 1,17 persen dari batas atas NPL sebesar 5 persen.
Data BI menunjukkan bahwa pada kuartal terakhir tahun ini para pengusaha masih optimistis terhadap akselerasi kegiatan usaha. Ada perkiraan permintaan dalam negeri yang didorong oleh musim liburan, musim panen, dan hari besar keagamaan. Beberapa sektor yang positif tersebut antara lain industri pengolahan, pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
Gubernur BI Agus Martowardojo sebelumnya menyampaikan, struktur industri di Indonesia yang intensif pada impor menjadi pemicu pelemahan rupiah terhadap valas. Lantaran itu, untuk mengurangi impor, perlu ada industri substitusi impor. Hal itu juga ditekankan terhadap investasi langsung asing (FDI/foreign direct investment) yang harus berorientasi ekspor.
"Sekarang memang ada tren deindustrialisasi. Di Jawa, misalnya. Sektor manufaktur terhadap PDB semakin menurun. Karena itu, harus kembangkan industri pemrosesan sumber daya alam (SDA) untuk nilai tambah yang tinggi," jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengatakan, turnover dolar di pasar akhir-akhir ini sebetulnya tidak terlalu banyak. Meski begitu, dia mengakui ada kenaikan permintaan dolar menjelang akhir tahun yang dinilai masih wajar. "Karena tipisnya pasar, permintaan USD itu merayap naik pelan-pelan ke atas 11.700," paparnya.
Saat rupiah melemah di angka 11.700 per USD, muncul kekhawatiran. Jika rupiah menembus threshold 11.800, pemain pasar melihat kurs bakal tembus ke atas 12.000 per USD.
"Itu yang kemudian mendorong kepanikan di offshore, yang tadinya anteng di 11.500-an, langsung jump rate-nya ke atas 11.800. Spekulatif behavior muncul di pasar," tandasnya. (gal/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Berebut Dolar
Redaktur : Tim Redaksi