Pelibatan TNI dalam Berantas Terorisme bisa Mengganggu Kepercayaan Publik pada Pemerintah

Selasa, 01 Desember 2020 – 23:12 WIB
Ilustrasi TNI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme dikhawatirkan akan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Hal ini disampaikan Dosen Universitas Paramadina Dr Phil Siska Prabhawaningtyas dalam diskusi Membedah Rancangan Perpres Tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dari Perspektif Perempuan, Hukum dan HAM, Selasa (1/12).

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: PA 212 Bakal Kawal Pemeriksaan Habib Rizieq, Ada Patung Yesus Tertinggi di Dunia, Seruan Jihad Bawa Pedang

Menurutnya, perpres itu berpotensi memunculkan dualisme hukum berkaitan dengan penggunaan instrumen negara untuk menangani terorisme antara pendekatan perang (war military operation) dan pendekatan hukum kriminal terpadu (criminal justice system).

“UU terorisme spiritnya adalah criminal justice system,” kata Siska.

BACA JUGA: Pasukan Khusus TNI Dikerahkan ke Poso

Oleh sebab itu, Siska mempertanyakan motif di balik pembentukan perpres yang justru bertentangan dengan semangat criminal justice system tersebut.

“Semangat untuk mengatasi terorisme harusnya sangat menghargai criminal justice system dan jelas spektrum di mana ketika militer harus digunakan," tegasnya.

BACA JUGA: Jangan Membocorkan Strategi TNI dan Polri kepada MIT Poso

Sementara itu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi mengatakan perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang memberikan wewenang dan ruang besar kepada aparat militer untuk mengatasi terorisme tidak saja bisamelanggar norma-norma standar HAM dan standar politik berbasis pada supremasi sipil, tetapi juga dalam perkembangannya bisa mengarah pada ancaman politik baru.

“Yakni terbentuknya rezim politik yang bercorak koersif yang membawa berbagai perangkat regulasi dan hegemoninya dari era Soeharto dalam kondisi politik post-otoritarianisme,” kata Airlangga.

Pada kesempatan yang sama aktivis perempuan Aceh Surayya Kamaruzzaman berpendapat transformasi terorisme belakangan ini yang melibatkan perempuan sebagai pelaku aktif, dengan motif perkawinan dan kekerabatan lainnya, tidak bisa dijawab dengan pendekatan militer.

“Hal ini seharusnya dilakukan dengan memperkuat ruang-ruang pencegahan melalui BNPT dan organisasi masyarakat sipil, bukan dengan membuka ruang bagi TNI untuk terlibat lebih jauh dalam hal ini,” tuturnya. (flo/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler