Pemain Timnas U-23 Korut, Misterius dan Sering Mengejutkan

Sabtu, 05 Mei 2018 – 00:30 WIB
Dua pemain Timnas Korut, Jo Kwang-myong (kiri) dan O Chol-hyok berbincang dekat makanan dan minuman yang dihadiahkan suporter di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor (27/4). Foto:: Farid S. Maulana/Jawa pos

jpnn.com - Timnas U-23 Korut (Korea Utara) hanya mampu bermain imbang 2-2 dalam laga perdana ajang PSSI Anniversary Cup 2018 melawan Uzbekistan. Gara-gara hasil imbang, mereka membatalkan rencana jalan-jalan dan memilih menambah porsi latihan. Tanpa kitman, para pemain harus membawa sendiri boks minuman, kotak air mineral, dan peralatan medis.

FARID S. MAULANA, Jakarta

BACA JUGA: Miraziz Sebut Sepak Bola Indonesia Berkembang Luar Biasa

SATU per satu pemain tim nasional (timnas) U-23 Korea Utara (Korut) melintas di mixed zone. Tapi, tak seorang pun yang menghiraukan permintaan wawancara para wartawan yang berderet menunggu.

Mungkin karena tak satu pun di antara mereka yang menguasai bahasa Inggris. Tapi, bisa jadi juga karena mereka repot dengan bawaan masing-masing. Barang-barang yang lazimnya di sepak bola jadi tanggung jawab kitman alias pembantu umum.

BACA JUGA: Timnas Indonesia Belum Pernah Cetak Gol, Lantas?

Ada yang menyeret boks minuman; ada pula yang membopong kotak air mineral. Ada yang membawa handuk dan sepatu. Ada juga yang kebagian membawa peralatan medis.

Dengan jersey kotor dan basah oleh keringat. Karena barusan dipakai menghadapi Uzbekistan di laga pembuka Anniversary Cup 2018 pada Jumat sore lalu (27/4) di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor. ”Kami memang datang untuk bertanding, bukan liburan,” kata Kim Chung Sin, penerjemah tim Korut.

BACA JUGA: Luis Milla Cari Striker Garang dan Haus Gol

Kebersahajaan itu sejatinya tak terbayangkan. Sebuah timnas tak punya kitman. Apalagi timnas dari salah satu kekuatan besar di Asia. Yang telah dua kali lolos ke Piala Dunia.

Bandingkan saja dengan rombongan Uzbekistan yang melintas di mixed zone 15 menit berselang. Para pemainnya telah rapi, berganti pakaian bersih, dan tentu saja wangi. Berjalan santai sembari memakai headset. Berbalut jaket dari apparel tim.

Tapi, itulah Korut. Sebagaimana sepak terjang mereka di politik internasional, begitu pula mereka di lapangan hijau. Agak misterius dan sering mengejutkan.

Yang terjadi di Panmunjom pada hari yang sama timnas U-23 Korut bertanding dengan timnas U-23 Uzbekistan misalnya. Pemimpin Korut Kim Jong-un –yang selama ini begitu keras kepala dan doyan meneror lewat uji coba misil– dengan hangat bertemu Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Bahkan, Jong-un rela jadi pemimpin Korut pertama yang menginjak wilayah Korsel sejak Perang Korea berakhir pada 1953.

Begitu pula halnya di lapangan hijau. Tak punya kompetisi yang ajek, tertutup terhadap liga luar, dan sangat jarang menggelar uji coba internasional, toh Korut bisa dua kali lolos ke Piala Dunia. Yang pertama, pada 1966, bahkan sampai ke perempat final.

Kejutan dalam angle dan skala berbeda juga mereka hadirkan di Anniversary Cup. Saat melawan Uzbekistan dan Indonesia, sejumlah pemain mereka turun ke lapangan mengenakan sepatu Nike, apparel yang berbasis di Amerika Serikat (AS), negeri yang pernah dicap rezim Jong-un sebagai ”agresor imperialis”.

”Sudah biasa. Tidak apa-apa (pakai produk perusahaan asal AS),” kata Kim Chung Sin yang saat dua hari ditemui Jawa Pos (26 dan 27 April) juga memakai polo shirt bermerek Adidas.

Kim Chung Sin menjelaskan, di negaranya sekarang ini sudah bukan hal tabu memakai apparel luar negeri. ”Tapi, bukan berarti untuk keperluan lain kami tidak bisa pakai merek luar,” jelasnya.

Apakah ada hubungannya dengan rencana pertemuan Kim Jong-un dengan Presiden AS Donald Trump di akhir bulan ini? Entahlah. Yang pasti, dalam laporannya yang cemerlang di Bleacher Report pada Desember tahun lalu, James Montague menggambarkan detail propaganda melawan AS yang dia lihat di jalanan Pyongyang.

”Iklan dilarang di Korut, kediktatoran komunis terakhir, tapi tiap sudut jalan penuh dengan billboard yang memuji program misil pemerintah dan mengutuk AS sebagai imperialis,” tulis Montague dalam laporan panjangnya bertajuk Inside the Secret World of Football in North Korea itu.

Yang juga menonjol dari skuad Korut U-23 adalah kedisiplinan. Ketika dua tim peserta lain, Uzbekistan dan Bahrain, memilih datang ”mepet”, Korut sudah mendarat di Jakarta pada Rabu dini hari (25/4). Sore harinya, pelatih Ju Song-il langsung menggembleng skuadnya dengan latihan keras.

Sedangkan Uzbekistan dan Bahrain baru datang keesokan harinya (26/4) dan hanya berlatih sekali sebelum bermain keesokan harinya. Itu pun official training.

Kedisiplinan tersebut kembali terlihat ketika laga pertama melawan Uzbekistan hanya berakhir imbang 2-2. Rencana jalan-jalan dibatalkan. Sebagai gantinya, Song Kum-song dkk harus menjalani latihan di saat ketiga peserta Anniversary Cup lainnya libur. Menurut Ju, itu dilakukan untuk membantu para pemain beradaptasi dengan cuaca.

Persoalan itulah yang dia anggap sebagai kendala sehingga Korut gagal memetik kemenangan di laga pertama. ”Kami harus segera beradaptasi dengan cuaca seperti ini,” tutur Ju dalam jumpa pers seusai laga pertama.

Bisa dibilang, disiplin keras memang ”nama tengah” Korut. Montague menggambarkannya lewat aturan di Istana Kumsusan, tempat jenazah dua pemimpin pertama Korut Kim Il-sung dan Kim Jong-il diabadikan.

Di hadapan jasad Il-sung, tiap pengunjung harus membungkuk tiga kali. Pertama di kaki, lalu di kedua sisi jenazah. Tapi tak boleh di kepala. Itu dianggap penghinaan.

Padahal, sebelum event dimulai, Korut sudah meminta panitia memberikan saran lokasi-lokasi yang bisa dijadikan rujukan untuk relaksasi. Misalnya pusat perbelanjaan atau tempat membeli oleh-oleh.

Untungnya, mereka akhirnya bisa mendapatkan oleh-oleh secara cuma-cuma. Yang diberikan sejumlah suporter mereka yang datang ke Stadion Pakansari di laga melawan Uzbekistan.

Tampak beberapa bahan makanan yang dimasukkan ke ember plastik warna-warni. Juga dus-dus cokelat dan beberapa krat Coca-Cola. Sayang, tak ada pemain Korut yang bersedia menjawab pertanyaan di mixed zone tentang buah tangan tersebut.

Yang pasti, menurut Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan PSSI Anniversary Cup 2018 Marsal Masita, Korut adalah tim undangan yang tidak neko-neko. Artinya, jarang ada request yang aneh-aneh sebagai syarat keikutsertaan dalam turnamen tersebut. Termasuk soal makanan. ”Mereka biasa hanya minta dijemput dan dicarikan tempat latihan. Standar, seperti tim-tim Asia Timur lainnya kalau ke Indonesia,” bebernya.

Pengamanan pun demikian. Standar saja. Meski mereka berasal dari negeri yang biasa mengawasi tiap gerak-gerik warganya. ”Kami siapkan sesuai SOP (standard operating procedure). Tidak ada yang berbeda dengan peserta lain,” imbuhnya. (*/c9/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Luis Milla Sebut Permainan Indonesia Makin Berkembang


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler