Pembakaran Rumah Kampung Pemasang Ranjau

Senin, 11 November 2013 – 04:12 WIB
Saksi hidup pembantain yang dilakukan Belanda di Malang Prada Yasman. FOTO: Gunawan Sutanto/JAWA POS

jpnn.com - PERGOLAKAN yang terjadi semasa Agresi Militer I dan II yang tidak hanya terjadi di Jawa Tengah. Di sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Malang dan Nganjuk pun peristiwanya hampir sama. Banyak daerah yang berupaya diluluhlantakan oleh Belanda karena dianggap sebagai ancaman.

---

BACA JUGA: Jembatan Kali Progo dan Kemarahan Pada Sang Kolonel

Pembunuhan massal di Jawa Timur banyak terjadi di wilayah Kabupaten Malang. Wilayah tersebut menjadi kawasan Brigade Marinir. Salah satu lokasi yang banyak menjadi sasaran kemarahan Belanda ialah Kabupaten Malang.

Di sana ada tiga desa yang warganya pernah menjadi sasaran kemarahan militer Belanda. Yakni, desa Sutojayan (kecamatan Pakisaji), Sumberejo,  dan Peniwen, (Kromengan). Salah satu saksi sekaligus korban yang masih hidup dari peristiwa di Malang itu ialah Prada Yasman. Dia mengatakan saat itu Belanda melakukan pembakaran kampung dan eksekusi warga yang dianggap membahayakan.

BACA JUGA: Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen

Dia termasuk yang diculik dan disekap dengan cara berpindah-pindah hingga 13 bulan.  ’’Saya mengalami disetrum menggunakan kumparan dinamo, dipukul dan disekam di dalam ruangan 1 x 1,5 meter,’’ papar pria 94 tahun itu.

Alat setrum yang digunakan Belanda untuk menyiksa Jasman dan sejumlah tentara dan warga ialah mirip semacam radio lapangan dengan kumparan sebagai tenaga listriknya. Alat tersebut tanpa baterai, cara penggunaannya dengan cara memutar tuas pengengkol sehingga didapatkan arus listrik, semakin cepat putaran maka semakin besar pula arus yang dihasilkan.

BACA JUGA: Melihat Rumah Peristirahatan Jenderal Soedirman di Desa Bodag, Trenggalek

Penggunaan alat tersebut ialah dengan memasang pada jari seorang yang akan disetrum. Luka bekas setrum itu kini masih membekas pada tubuh lusu Jasman. "Saat itu saya bersama 36 pemuda lainnya ditangkap. Disiksa cara dihajar, dipukuli dengan gagang cangkul dan terakhir selalu disetrum. Kalau bisa memilih mending saya dipukuli dengan gagang cangkul,’’ kenangnya.

Siksaan itu dilakukan agar Jasman dan para pemuda yang diculik mengaku sebagia TNI. Jasman mengatakn dirinya bukan TNI. Namun waktu itu didesa orang menyebutnya sebagai anggota TKR atau BKR. ’’Saya memang anggota TKR dengan pangkat prajurit dua, kalau ditempat lain sudah ganti nama jadi TNI ya saya ga tau. Dan saat itu saya juga sudah tidak ikut perang karena tidak ada pertempuran di area sutojayan. Tapi saya tetap disuruh ngaku sebagai tentara,’’ paparnya.

Siksaan yang dialami Jasman ternyata bukan itu aja. Dia juga mengaku pernah dipaksa meminum air sangat banyak hingga perutnya penuh lalu diinjak perutnya hingga air keluar lagi. ’’Kami juga dipenjara dalam sebuah ruang berukuran 1,5 meter persegi. Kurungan dan siksaan itu hingga 13 bulan lamanya,’’ kata Jasman.

 

Dalam dokumen dan data yang dimiliki peneliti, Max Van Der Werff disebutkan penyerangan itu dilakukan karena Belanda curiga penduduk Sutojayan memasang sejumlah ranjau. ’’Saya mendapatkan dokumen dan wawancara langsung terhadap keluarga tiga marinir Belanda yang menolak perintah membakar dan mengeksekusi penduduk di desa tersebut,’’ ujar Max yang ikut ekspedisi bersama Jawa Pos.

Tiga marinir yang menolak perintah itu akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman di negerinya, Belanda. Max pun menuliskan apa yang dialami ketiga marinir itu dari cerita keluarganya.

Sayangnya tragedi kemanusian seperti kasus-kasus di atas justru dibiarkan tertumpuk dengan sejumlah problematikan baru di negeri ini. Padahal persoalan ini di negeri Belanda serius dibahas, baik oleh media, peneliti maupun LSM.

Pasca kejadian Rawagede, banyak pengiat sejarah Belanda yang menelusuri kejadian-kejadian serupa di daerah lain. Mereka berharap Belanda mengakui dan melakukan permintaan maaf seperti halnya di Rawagede.

Pengakuan dan permintan maaf itu diharapkan bisa menjadi trigger untuk rekonsiliasi hubungan yang kedua negara. Itu juga yang dilakukan televisi NCRV yang bersama melakukan ekspedisi ke lokasi-lokasi di atas. Sejumlah kejadian kemanusian itu kini masih tengah diperjuangkan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) di Belanda.(gun)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dikasih Batik Tulis Pekalongan, Ucapkan Thanks via Twitter


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler