JAKARTA - Komisi XI DPR RI menilai pembelian pesawat MA 60 dari Tiongkok telah melanggar Undang-UndangPasalnya, Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan pemerintah telah meneken perjanjian sebelum mendapat persetujuan dari Badan Anggaran DPR.
"Ini sudah melanggar Undang-Undang, karena Merpati dan pemerintah lebih dahulu bertindak sebelum disetujui," ujar Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis usai rapat dengar pendapat dengan Kementerian Keuangan, PT MNA, Bappenas, PT Perusahaan Pengelola Aset, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dan Kementerian BUMN, Kamis (12/5)
BACA JUGA: Kuasa Hukum Yusril Tuduh ICW Punya Kepentingan
Menurut kronologisnya, Kementerian Keuangan dan PT MNA telah menandatangani SLA (subsidiary loan agreement) pengadaan MA-60 pada 11 Juni 2010
BACA JUGA: Dituding ICW, Darwin Tantang Bawa ke Proses Hukum
"Badan Anggaran baru memberikan persetujuan pada 30 Agustus 2010 setelah melewati pembahasan pada 18-23 Agustus 2010 oleh Panitia Kerja SLA," tegasnya.Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan, Agus Supriyanto mengakui bahwa Kementerian Keuangan dan Merpati telah meneken perjanjian penerusan pinjaman dalam bentuk SLA dari EXIM Bank of China pada 11 Juni 2010
BACA JUGA: Pusat Jadikan Bonbol Kota Satelit
Baru efektif setelah ada persetujuan Banggar pada 30 Agustus 2010," tuturnya.Sekjen Kementerian Keuangan Mulia P Nasution berdalih, dana SLA dari Exim Bank of China, tidak diterima langsung oleh pemerintahDana sebesar 1,8 miliar renminbi itu ditransfer langsung ke rekening Xian Aircraft menggunakan withdrawn application"Dengan aplikasi itu, pada neraca kita akan tercantum penerimaan pinjaman sekaligus penerusan pinjamanJadi dana tercatat in dan out," tegasnya.
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines membeberkan kronologi pengadaan pesawat jenis MA-60 ituMenurut dia, pengadaan pesawat MA 60 itu berawal dari adanya kebutuhan"Ketika itu, banyak bupati di daerah yang ingin dilayani dengan penerbangan MerpatiJadi kita lantas mencari pesawat yang cocok buat ke daerah-daerah," cetusnya.
Lantaran belum ada Keputusan Menteri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perlunya Pelaporan untuk Pengadaan Barang, Merpati lalu memutuskan melaporkan kebutuhan itu kepada Kementerian PerhubunganBak gayung bersambut, ada tawaran dari Xian Air Craft selaku produsen MA-60Kemudian, terjadi pembicaraan di antara keduanya di Point Comission Meeting Indonesia-China pada 29 Agustus 2005.
Sardjono mengatakan, Xian Aircraft Company selaku produsen mempersyaratkan adanya persetujuan dari pemerintah sebagai kuasa pemegang saham, skema finansial, dan penandatanganan kedua belah pihak"Karena mendesak dan belum mendapat skema finansial, kami memutuskan lease (sewa) dengan kondisi kalau skema finansial ditemukan, uang lease dikembalikan," terangnya.
Dia menegaskan, sebelum memutuskan mengambil MA-60 sebagai pilihan, Merpati telah menyeleksi produsen pesawat lainnya, termasuk sempat menerima tawaran dari PT Dirgantara IndonesiaTapi akhirnya, Merpati tidak jadi mengambil pesawat dalam negeri karena ketika itu produksi CN-250 dihentikan"Kita kembali seleksi pesawat-pesawat dari luar," ungkapnya.
Akhirnya, maskapai pelat merah itu mempertimbangkan untuk menyeleksi beberapa jenis pesawat dengan spesifikasi yang dibutuhkan untuk penerbangan ke daerah-daerah, antara lain ATR 72, Dash 8 Q 400 tipe propeler dari Bombardier Aerospace"Mereka semua mahal, bisa USD 19-20 juta per unitMakanya, pilihan pada MA-60 (harganya disebutkan USD 11,2 juta per unit-red)," kata Sardjono.
Selanjutnya, Merpati memutuskan menyewa dua unit MA-60 pada 2007 dengan menggunakan dana hasil usaha sebagai security depositSardjono mengatakan, penyertaan modal negara sebesar Rp 75 miliar dan Rp 450 miliar yang dianggarkan dalam APBN 2005 sama sekali tidak digunakan untuk pembiayaan sewa dua pesawat itu"Kita tidak pakai dana itu," tuturnya.
Pada awalnya, Merpati hanya mengajukan pinjaman kepada pemerintah untuk pengadaan pesawat tersebutNamun, belakangan, pemerintah menyepakati metode penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement)Sebagai syaratnya, Merpati harus menyusun strategic business unit (SBU) agar Kementerian Keuangan mendapatkan jaminan bahwa maskapai nasional itu sanggup membayar pinjaman
SBU itu mengharuskan Merpati juga memisahkan hasil usaha dari penggunaan MA-60 untuk membayar utangDengan adanya skema itu, dua pesawat akhirnya dibeli dan menjadi bagian dari 15 unit yang dipesan dalam kontrak awal"Karena jadi dibeli, uang lease dikembalikan," jelasnya(wir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengacara Bantah Kemenangan Tutut Hasil Lobi
Redaktur : Tim Redaksi