jpnn.com, JAKARTA - Adanya provinsi baru menjawab berbagai permasalahan Papua dalam konteks OTSUS karena dapat menjembatani aspirasi lokal dan kepentingan strategis nasional.
Pemekaran hanyalah sarana yang harus diberi substansi lebih untuk dapat menjadi solusi bagi kompleksitas persoalan Papua.
BACA JUGA: Bahas Papua, Perusahaan Singapura Kumpulkan Investor dari Berbagai Negara
Menurut Anggota MRP Toni Wanggai dengan adanya revisi UU Otonomi khusus di Papua terdapat tiga terobosan besar pemerintah pusat di era presiden Jokowi.
Pertama, kehadiran badan khusus percepatan pembangunan Papua dan Papua barat, kedua adanya green design atau perencana induk pembangunan Papua yang komprehensif, ketiga adalah pemberian ruang politik seluas-luasnya kepada orang asli Papua dengan dibentuknya DPRK dari jalur pengangkatan bukan jalur pemilihan.
BACA JUGA: Kominfo Ajak Anak Muda Papua dan Yogyakarta Berkolaborasi Lewat Cara Ini
Dengan begitu, OAP memiliki ruang politik yang luas berperan langsung dalam mengawal kebijakan dan terlibat dalam policymaking di setiap kebijakan politik di tingkat kabupaten kota.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar mempunyai komitmen politik untuk membangun dan mempercepat kesejahteraan masyarakat di Papua.
“Karena itu RUU Masyarakat Hukum Adat perlu segera disahkan, dikarenakan belum adanya regulasi payung hukum yang kuat, karena selama ini meski orang Papua sebagai pemiliki tanah, namun pengelolaan diserahkan kepada pengusaha asing," kata Wanggai dalam Webinar New Province for a More Prosperous and Peaceful Papua, Rabu (2/11).
BACA JUGA: Kemendagri Berencana Meresmikan 3 DOB Papua Sekaligus
Menurutnya, perlu adanya regulasi yang pasti terkait kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam bagi rakyat papua yang ikut diatur dalam lembaga atau hukum adat yang sejalan dengan regulasi payung besarnya.
"Perlu adanya kepastian hukum untuk mendiskusikan lebih lanjut dan perlu adanya penguatan lembaga-lembaga adat agar kesejahteraan rakyat asli papua bisa lebih diperhatikan,” ujar cendekiawan Papua tersebut.
Sedangkan analis politik, Bonny Hargens menyatakan bahwa istilah New Papua merujuk pada Papua hari ini dan masa depan.
Ini berbeda dengan Papua lama, di mana persepsi semua orang hanya mengacu kepada keterbelakangan, kemiskinan, konflik dan saparatisme.
Penciptaan daerah otonomi baru dan seluruh komponen skema pembangunan pemerintahan presiden Jokowi di Papua, dengan sendirinya mengubah stigma dan paradigma tentang Bumi Cenderawasih yang tidak didefinisikan oleh teritori wilayah atau ras saja, tetapi kesamaan cita-cita kesejahteraan bersama.
"Kondisi Papua baru ini ialah kondisi ideal yang terus kita perjuangkan, agar masyarakat Papua dapat memahami jati dirinya, merdeka dari kemiskinan, keterbelakangan dan merdeka dari segala bentuk kebuntuan, hingga Papua mampu melihat dirinya sebagai bagian utuh dari negara kesatuan republik Indonesia," ujar dia.
Bonny mengatakan bahwa pemekaran merupakan skenario percepatan pembangunan infrastruktural dan pembangunan manusia sekaligus.
Penciptaan daerah-daerah otonom baru, dalam paradigma pembangunan universal, diterima sebagai jalan alternatif dalam mengakhiri kebuntuan pembangunan, terutama di daerah terpencil dan rawan konflik.
"Pemekaran merupakan peluang potensial bagi masyarakat Papua dalam memajukan diri dalam semua gatra kehidupan," ujar dia.
Bonny menyadari penciptaan DOB seringkali dikritik melahirkan raja-raja kecil baru yang senafas dengan perluasan korupsi di tingkat daerah. Hal itu sering terjadi di semua negara dengan budaya politik parokial.
"Tetapi, sebaliknya, penciptaan DOB justru meningkatkan peluang pengawasan dan efektivitas kerja kelompok masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Setiap peluang korupsi dan abuse of power akan dengan mudah dilihat dan ditindak oleh masyarakat sipil dan penegak hukum,” jelas alumnus Universitas Indonesia itu.
Menurutnya, sosialisasi tentang agenda pembangunan “New Papua” yang melibatkan OAP di garda terdepan harus terus dilakukan dalam rangka melemahkan efek propaganda kelompok separatis dan simpatisannya yang menentang pemekaran.
Implementasi program pembangunan Papua yang digagas pemerintahan Presiden Jokowi harus benar-benar mempertimbangkan aspek kolaborasi, koordionasi, komunikasi, dan kooperasi di antara semua pihak yang terkait.
Hal ini juga ditegaskan oleh salah satu tokoh pemekeran Papua asal Kaimana, Ismail Sirfefa yang menyatakan bahwa baik dari perspektif historis dan yuridisnya, upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat sudah sangat bagus.
Sekarang, lanjut dia, tinggal bagaimana mengawal pelaksanaannya di tengah berbagai persoalan yang ada.
“Tujuan pemekaran ialah bisa mewujudkan keadilan pembangunan di Indonesia, yang berimplikasi pada bidang lainnya, seperti bidang ketenagakerjaan,” jelas mantan wakil bupati Kaimana dan dosen aktivis pemberdayaan masyarakat adat tersebut. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif