jpnn.com - JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD angkat bicara menanggapi tudingan bahwa pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) untuk menghidupkan kembali komunisme di Tanah Air.
Mahfud MD menegaskan tudingan tersebut sama sekali tidak berdasar.
BACA JUGA: Jumhur Menantang Mahfud MD dan juga Yusril Berdebat Tentang Perppu Ciptaker
Tudingan sebelumnya merebak karena kerja Tim PPHAM meninjau sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa 1965-1966.
"Itu tidak benar, karena berdasarkan hasil tim ini, justru yang harus disantuni bukan hanya korban dari PKI, tetapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul saat itu, termasuk para ulama dan keturunannya," ujar Mahfud di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1).
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Tuding Tragedi Kanjuruhan Pelanggaran HAM Berat, Mahfud: Terlalu
Mahfud menjabat Ketua Tim Pengarah Tim PPHAM.
Dia sebelumnya menyampaikan laporan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
BACA JUGA: Perpu Cipta Kerja, Jokowi: Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Laporan tersebut, menjadi bukti bahwa tudingan terkait upaya membangkitkan komunisme sama sekali tidak benar.
"Tidak benar, misalnya mau memberi angin kepada lawan Islam karena (peristiwa pembunuhan) dukun santet di Banyuwangi, itu yang akan diselesaikan dan disantuni atas rekomendasi Tim PPHAM ini semuanya ulama," ucapnya.
Mahfud juga mengajukan argumentasi serupa mengenai korban peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh.
"Kenapa harus dikatakan ini untuk mendiskreditkan Islam? Untuk memberi angin kepada PKI? Itu sama sekali tidak benar, karena soal PKI itu sudah ada TAP MPR-nya," kata Mahfud.
Tim PPHAM selain merekomendasikan pemenuhan santunan bagi para korban juga menyampaikan sejumlah rekomendasi sosial, politik dan ekonomi kepada Presiden Jokowi.
"Termasuk pendidikan HAM kepada keluarga besar TNI dan Polri sudah disampaikan," kata Mahfud.
Seusai serah terima laporan Tim PPHAM, Presiden Jokowi mewakili Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa di masa lalu dan menegaskan penyesalan mendalam atas peristiwa tersebut.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui pelanggaran hak asasi manusia berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi.
Ke-12 peristiwa tersebut adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989.
Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998 dan Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, pembunuhan dukun santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena Papua 2003 dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Presiden menyampaikan simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban ke-12 peristiwa tersebut.
Presiden menegaskan pemerintah berusaha memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial serta berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. (Antara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ferdy Sambo Gugat Jokowi & Kapolri, Mahfud MD Bereaksi Menohok
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang