Kasus COVID-19 di Indonesia telah mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir, berdasarkan data resmi Pemerintah.
Tapi yang akan menjadi masalah dalam jangka panjang adalah sampah medis yang seringkali dibuang secara ilegal dan menjadi semakin menumpuk.
BACA JUGA: Qantas Akan Kembali Buka Rute Internasional ke London, Singapura, dan Bangkok
Di Jakarta saja, jumlah limbah medis dari rumah sakit dan fasilitas lainnya telah melonjak hingga 500 persen.
PBB melaporkan lonjakan sampah medis juga terjadi di empat ibu kota di kawasan Asia Tenggara lainnya.
BACA JUGA: Setelah Baduy, Kemendikbudristek Vaksinasi 1.000 Masyarakat Adat Banten Kidul
Membuang sampah dan limbah medis memang membutuhkan biaya yang tidak murah, belum lagi tidak cukup insinerator untuk mengelola sampah medis dengan benar.
Di salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di Jakarta, Pak Suherman mencari nafkah dengan menjual dari apa yang ia dapatkan saat memungut sampah.
BACA JUGA: Ini Alasan Kawasan Australia Utara Berpotensi Jadi Pusat Pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia
Jika ia sedang beruntung, Pak Suherman mengaku bisa mendapatkan setidaknya Rp100 ribu per hari.
Tetapi sejak pandemi COVID-19, dia menemukan lebih banyak sampah, meski pekerjaannya menjadi lebih berisiko.
Ia harus memilah dan memungut sampah medis yang punya risiko menular, baik dalam bentuk masker bekas, alat pelindung diri (APD), jarum suntik, infus, hingga bekas botol vaksin.
“Untuk memangkas biaya, banyak rumah sakit, klinik, dan puskesmas membuang limbah mereka secara ilegal, meski itu pelanggaran berat,” kata Bagong Suyoto, ketua Koalisi Nasional Sampah.
Asosiasi Rumah Sakit Indonesia mengatakan Indonesia menghasilkan rata-rata 383 ton limbah medis setiap harinya selama pandemi COVID-19.
Tetapi banyaknya limbah dan tingginya biaya untuk menanganinya membuat beberapa rumah sakit sulit untuk membuangnya dengan benar.
Tumpukan sampah juga semakin meningkat di lokasi TPA, di sepanjang tepi sungai dan di saluran air yang membahayakan kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
Seperti yang terlihat di Sungai Cisadane, Tangerang, Jawa Barat.
Limbah medis semakin meluap, setelah dinding pembatas di TPA sebelahnya runtuh tahun lalu.
Akibatnya sampah yang jumlahnya mencapai beberapa ton meluap dan mencemari air sungai.
Padahal banyak warga yang hidup di sekitar sungai menggunakan air tersebut untuk keperluan mandi atau mencuci pakaian.
Reza Cordova, seorang peneliti polusi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, patogen menular dan partikel membahayakan lainnya dari APD bisa saja masuk ke rantai makanan manusia, termasuk melalui aliran air di sungai.
"APD yang dibuang bisa dimakan oleh plankton yang kemudian dimakan oleh ikan kecil, lalu dimakan ikan yang lebih besar dan ditangkap oleh manusia," kata Reza.
"Jadi secara tidak langsung kandungan plastik bersama dengan polutan yang dibawanya dikonsumsi oleh manusia."
Di bawah hukum Indonesia, limbah medis seharusnya dibakar di insinerator.
Tapi jumlah insinerator di Indonesia tidak cukup, belum lagi sejumlah layanan insinerator yang ada saat ini kewalahan karena banyaknya permintaan untuk membakar.
Di salah satu insinerator di Jawa Timur, warga sekitar sudah melakukan protes selama bertahun-tahun tentang dampak asap beracun pada kulit dan kesehatan pernapasan mereka.
Insinerator tersebut membakar sampah dan limbah siang dan malam hari.
Tapi mereka mengatakan situasinya bahkan lebih buruk.
“Orang-orang di sini merasakan bau busuknya,” kata Sutama, seorang warga Desa Lakardawo.
"Baunya seperti infus, atau obat, membuat kita mual, sakit kepala dan muntah."
Presiden Indonesia Joko Widodo baru-baru ini mengalokasikan triliunan rupiah untuk membangun 10 insinerator baru pada akhir tahun di pulau Jawa, yang juga menampung limbah medis dari Bali dan pulau-pulau lainnya.
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Reaksi Mahfud MD atas Putusan MK UU Corona