jpnn.com, JAKARTA - Pemeriksaan 25 polisi berpangkat brigadir jenderal hingga tamtama di kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, menguatkan analisis Reza Indragiri Amriel tentang code of silence atau kode senyap.
Puluhan oknum polisi itu diproses secara internal lantaran dianggap tidak profesional menangani tempat kejadian perkara (TKP) tewasnya Brigadir J.
BACA JUGA: Pria Ini Bilang Kapolri Tidak Main-Main, Fakta Kematian Brigadir J Akan Terungkap
Pakar psikologi forensik itu sebelumnya bicara tentang code of silence menanggapi langkah Bharada E mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bharada E merupakan polisi yang sudah jadi tersangka pembunuhan Brigadir J di rumah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
BACA JUGA: Kabar Terbaru Kasus Brigadir J, Mahfud MD Mendapat Informasi dari Intelijen, Begini
Reza menjelaskan di dalam kepolisian terdapat istilah code of silence yang artinya kode senyap atau kode diam.
Menurut penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu, istilah kode senyap menunjuk kepada subkultur menyimpang personel dengan menutup-nutupi kesalahan sejawat.
BACA JUGA: Kasus Pembunuhan Brigadir J, 4 Perwira Polri Ditahan di Tempat Khusus, Siapa Mereka?
"Bisa dibayangkan, ketika sejawat berpangkat atau berjabatan tinggi, code of silence makin mungkin terjadi. Sejawat sementereng itu punya efek psikologis yang intimidatif terhadap penyidik," tutur Reza kepada JPNN pada Rabu (20/7) lalu.
Terlebih lagi, lanjut dia, ketika ada lebih dari satu sejawat dan salah satunya lebih tinggi pangkatnya daripada personel lainnya maka code of silence bisa saja dilakukan dengan mengorbankan personel yang berpangkat lebih rendah.
Pertanyaannya, apakah code of silence dalam kasus pembunuhan Brigadir J itu terjadi atas komando?
Dalam anaisis terbarunya kepada media ini Jumat (5/8) malam, Reza menjelaskan ada riset yang menemukan penyimpangan (misconduct) pertama kali dilakukan personel pada penugasan pertama pascapendidikan.
"Pengaruhnya datang dari senior langsung. Lalu, ketika ditanya, siapa yang bisa berpengaruh menghentikan misconduct, jawabannya juga sama: senior," kata Reza.
Menurut pria yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu, temuan riset tersebut memperlihatkan betapa gerak organisasi kepolisian, baik negatif maupun positif, sangat dipengaruhi oleh senioritas.
BACA JUGA: Misteri Kematian Brigadir J, Menyeruak Istilah Kode Senyap, Apa Maknanya?
"Apakah itu yang dimaksud Menko, dan apakah itu yang beliau potret ada di Polri, saya pun tidak tahu," ujar pria asal Indragiri Hulu, Riau itu.
Menko yang dimaksud Reza ialah Mahfud MD yang sebelumnya sempat menyatakan kasus Brigadir J tidak sama dengan kriminal biasa. Sebab, ada psiko-hierarki dan politis sehingga pengungkapan perkara itu tidak mudah.
Kembali kepada analisis Reza Indragiri. Dia lantas menggabungkan dua riset tadi, yaitu tentang kode senyap dan efek senioritas.
Reza mengatakan kemungkinan penyimpangan dalam proses investigasi muncul sebagai akibat pengaruh negatif senior, dan penyimpangan ataupun pengaruh itu akan ditutup sedemikian rupa.
"Apakah itu yang dimaksud Menko, dan apakah itu yang beliau potret ada di Polri, lagi-lagi saya tidak tahu," ucapnya.
Benarkah Ada Klik di Tubuh Organisasi Kepolisian?
Berikutnya, Reza menyinggung soal ada tidaknya klik di kepolisian.
Dia menyebut ada studi hampir 40 persen personel memandang bahwa klik di dalam tubuh institusi kepolisian sepatutnya dilarang.
"Keberadaan klik atau subgrup atau "geng" di dalam organisasi, termasuk institusi kepolisian, sudah menjadi keniscayaan dari masa ke masa," ujar Reza.
Menurut dia, berpijak pada fenomena universal itu, pimpinan lembaga kepolisian memang perlu mewaspadai adanya kelompok-kelompok di lingkup internalnya yang berpotensi mengganggu, termasuk mengganggu kerja penegakan hukum.
Klik membuat organisasi kepolisian "ideal" bagi terjadinya manuver saling sikut (politicking) yang dampaknya terhadap organisasi bisa jauh lebih serius daripada "sekadar" masalah pengungkapan kasus itu sendiri.
Untuk itu, Reza menilai sangat konstruktif apabila pimpinan institusi kepolisian menginstruksikan seluruh jajaran agar tidak menghalang-halangi ataupun mengintervensi kerja penegakan hukum.
"Setiap pelanggar instruksi tersebut perlu dikenai sanksi organisasi, bahkan mungkin, sanksi pidana," katanya.
"Apakah ini yang Menko (Mahfud MD, red) maksudkan dengan psikopolitik? Juga, apakah itu yang terjadi di Polri dan masuk dalam radar Menko? Wallahu a'lam," kata Reza Indragiri. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam