Pemerintah Bakal Tambah Utang Rp 39 Triliun

Selasa, 20 September 2016 – 07:48 WIB
Sri Mulyani. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Penerimaan pajak diprediksi mengalami shortfall atau gagal mencapai target Rp 219 triliun.

Kementerian Keuangan pun mewaspadai potensi pelebaran shortfall di luar proyeksi tersebut.

BACA JUGA: Menhub: Tak ada Lagi Sekat-sekat

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara, shortfall mungkin bisa melebar.

’’Jadi, kita siap-siap seberapanya. Ya, kita lihat. Tapi, sejauh ini teman-teman pajak (Direktorat Jenderal Pajak, Red) masih yakin di Rp 219 triliun,’’ katanya di Gedung DPR kemarin (19/9).

BACA JUGA: Duh, Awal Oktober Harga Premium Naik?

Dia menuturkan, di samping adanya potensi pelebaran shortfall, serapan belanja pemerintah semakin kencang.

Padahal, penerimaan negara hingga saat ini seret. Pilihannya, pemerintah kembali memperlebar proyeksi defisit tahun ini dari 2,5 persen menjadi 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).

BACA JUGA: Siap-siap! Harga Premium dan Solar Naik Awal Oktober Nanti

Pelebaran defisit itu sudah mencapai ambang maksimal yang diperbolehkan UU Keuangan Negara, yakni tiga persen.

Sebab, jatah defisit di daerah lewat APBD hanya 0,3 persen. ’’Ini karena belanja K/L (kementerian/lembaga, Red) lebih cepat. Lalu, juga ada potensi upsize dari cost recovery,’’ ungkapnya.

Dengan potensi pelebaran defisit tersebut, lanjut Suahasil, pemerintah harus menambah utang 39 triliun.

Sebelumnya, dengan pelebaran defisit 2,5 persen, dibutuhkan tambahan utang Rp 17 triliun. Sementara itu, jika defisit hampir mencapai batas maksimal, harus ada tambahan utang Rp 22 triliun.

Suahasil mengungkapkan, untuk menambal defisit tersebut, pemerintah akan membiayai melalui beberapa cara.

Di antaranya, penerbitan lelang surat berharga rutin, private placement, serta pinjaman bilateral dan multilateral. ’’Kita lihat pinjaman mana yang masih terbuka untuk upsize,’’ ujarnya.

Mengenai kemungkinan adanya tambahan pemotongan anggaran, Suahasil belum mau bicara banyak.

’’Ya, itu tiap bulan kita perhatikan. Berapa penerimaan pajak, bea cukai, pengeluaran outlook bulan ini dan bulan depan, serta situasi kas kita. Kita semua awasi terus,’’ tegasnya.

Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menyatakan, di samping mewaspadai seretnya penerimaan negara, Kemenkeu mengawasi pembengkakan  cost recovery (biaya ditanggung pemerintah, Red) migas yang berpotensi memperbesar pengeluaran.

Dia juga menuturkan, hingga akhir Juli, realisasi  cost recovery mencapai USD 6,5 miliar, sedangkan anggaran cost recovery  yang dialokasikan dalam APBNP 2016 hanya USD 8 miliar.

Karena itu, Sri memperkirakan dana cost recovery melebihi anggaran. Hal tersebut akan menambah pengeluaran sehingga bakal mengurangi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari sumber daya alam.

’’Ini yang mungkin perlu kami tambahkan dari sisi kemungkinan risiko terhadap APBN,’’ tutur Sri Mulyani. (ken/c5/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Program Kewirausahaan Macet!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler