jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia memberikan bantuan kompensasi kepada empat korban tindak pidana terorisme. Total nilai yang dikeluarkan pemerintah untuk kompensasi ini sebesar Rp 450.339.525.
Pemberian kompensasi ini merujuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, para korban memang berhak mendapat bantuan, baik medis, rehabilitasi psikologis, maupun psikososial.
BACA JUGA: Cegah WNI jadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Prosesi pemberian kompensasi digelar di Ruang Nakula, kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (13/12). Menko Polhukam Mahfud MD menyerahkan langsung kompensasi kepada korban tindak pidana teroris.
“Menurut istilah undang-undang terorisme, yang menyatakan korban terorisme itu mendapat kompensasi atau restitusi pengobatan medis, sosial, itu diberikan oleh negara. Untuk menunjukkan betapa negara itu memang betul-betul serius untuk menangani masalah ini," kata Mahfud, Jumat (13/12).
BACA JUGA: Dede Yusuf MPR Dorong Penguatan Pendidikan untuk Mencegah Terorisme
Uang kompensasi disalurkan untuk ahli waris dari Ipda Dodon Kusgianto, korban meninggal serangan teroris di Tol Kanci-Pejagan pada 2018. Pemerintah memberikan istri Dodon yakni Ashiri sebesar Rp 286.396.000.
Selain itu, uang kompensasi diberikan untuk Brigadir Angga Dwi Turangga dan Ipda Widi Harjana masing-masing sebesar Rp 51.706.168 dan Rp 75.884.080. Keduanya ialah korban serangan teroris di Tol Kanci-Pejagan pada 2018.
BACA JUGA: Menhan Korsel Temui Mahfud MD dan Prabowo, Bahas Kelanjutan Proyek Jet Tempur
Kemudian uang kompensasi turut disalurkan untuk Bripka Andreas Dwi Anggoro, korban serangan teroris di Lamongan, Jawa Timur, pada 2018. Tercatat Andreas mendapatkan uang sebesar Rp 35.353.277.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyebutkan, pihaknya menjadi penanggung jawab untuk menghitung besaran jumlah kompensasi kepada korban tindak pidana teroris. Besaran kompensasi dihitung berdasarkan jenis kerugian yang dialami korban.
"Kemudian kami, kan, bersama dengan para korban meghitung kerugian yang dialami yang bersangkutan, baik dalam bentuk gangguan fisik, material maupun harta benda termasuk kehilangan jiwa," ucap dia.
Sementara itu, Ashiri merasa bersyukur pemerintah memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana teroris. Dengan mata berkaca-kaca, Ashiri mengaku pemberian uang dipakai semaksimal mungkin.
"Iya cukup (kompensasinya)," kata Ashiri sembari menyeka air mata dengan tisu.
Kemungkinan, kata Ashiri, kompensasi dipakai untuk pembiayaan anak sekolah. Tercatat, Ipda Dodon dan dirinya memiliki dua anak hasil perkawinan.
"Dipakai untuk biaya sekolah anak. Itu yang terpenting," tutur Ashiri sembari terbata-bata.
Problem Pemberian Kompensasi
Menko Polhukam Mahfud MD menyadari terdapat persoalan dari pemberian kompensasi kepada korban tindak pidana teroris. Sebab, kata dia, diksi kompensasi baru muncul di saat revisi kedua dari UU Tindak Pidana Terorisme pada 2018.
"Itu berlaku sejak 2018. Sebab, itu UU-nya baru 2018," ungkap Mahfud, Jumat.
Menurut Mahfud, bakal muncul pertanyaan terkait kemauan pemerintah memberikan kompensasi kepada korban teroris sebelum undang-undang terbit. Dalam hitung-hitungan Mahfud, korban teroris sebelum 2018 bisa sekitar 800 orang.
"Kemudian ada yang minta yang dahulu-dahulu ke mana? Kemudian dihitung-hitung mundur bisa sampai Bom Bali I dan seterusnya," ucap dia.
Menurut Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, pemberian kompensasi korban teroris sebelum 2018 bisa saja diberikan. Hanya saja, pemberian itu baru bisa dilakukan setelah terbit Perpres.
"Jadi, untuk pengurusan kompensasi, terutama bagi paran korban di masa lalu, itu masih menunggu Perpres-nya. Kami berharap akan segera selesai dan dibayarkan para korban segera dilakukan," ungkap dia.(mg10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan