jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diharapkan meninjau hasil penelitian produk tembakau alternatif untuk memahami potensi dalam menurunkan prevalensi merokok dan mengaturnya ke dalam regulasi yang berbeda dari rokok.
Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi yang digelar Centre for Youth and Population Research (CYPR) bertema “Produk Tembakau Alternatif: Bagaimana Sebaiknya Diatur?” pada Selasa (25/10).
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Perluas Akses Informasi Akurat Tentang Produk Tembakau Alternatif
Direktur CYPR, Dedek Prayudi mengatakan sejak 1 Juli 2018, pemerintah mengenakan tarif cukai untuk PTA atau Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia.
Kehadiran produk tersebut untuk membantu perokok dewasa yang selama ini kesulitan untuk berhenti dari kebiasaannya.
BACA JUGA: Komunitas Nelayan Pesisir di Takalar Meriahkan Maudu Lompoa, Serukan Ganjar Presiden 2024
Berdasarkan sejumlah hasil kajian ilmiah, baik di dalam dan luar negeri, diketahui bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok sehingga dapat dijadikan pilihan beralih untuk membantu perokok dalam mengurangi risiko pada kesehatannya.
“Berdasarkan berbagai hasil riset sudah membuktikan bahwa produk tembakau alternatif mampu mengurangi risiko kesehatan dibandingkan rokok. Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum menentukan sikap terhadap produk ini,” kata Dedek Prayudi.
BACA JUGA: Ratusan Mobil Listrik Hyundai Siap Dukung Pelaksanaan KTT G20 Bali
Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah menghadirkan regulasi yang terpisah dari rokok bagi produk tersebut.
Hal ini selaras dengan rekomendasi dari naskah penelitian kebijakan yang digarap CYPR dengan nama “Vision Document”.
Dalam naskah, yang melibatkan para pemangku kepentingan di kementerian/lembaga, akademisi, dan pelaku usaha dari level pusat hingga daerah, direkomendasikan bahwa produk ini perlu diregulasi agar menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi prevalensi dan bahaya merokok, tanpa mematikan kelangsungan industri.
“Produk tembakau alternatif adalah inovasi yang lahir dari kemajuan teknologi untuk membantu perokok dewasa yang selama ini kesulitan berhenti dari kebiasaannya. Untuk itu, produk ini harus didukung melalui regulasi yang mengatur aspek produksi, distribusi, pengiklanan, hingga konsumsi, bukan hanya tarif cukai, agar dapat berperan dalam menurunkan prevalensi dan bahaya merokok,” ujarnya.
Dalam penyusunan regulasi, Pemerintah Indonesia bisa meniru Pemerintah Filipina yang telah meregulasi produk tembakau alternatif atau Vaporized Nicotine and Non-Nicotine Products (VNNP) Regulation Act No 11900 pada Juli 2022.
Regulasi ini mengatur tentang produk yang tidak dibakar, baik yang menghasilkan maupun tidak menghasilkan nikotin.
Sub kategori produk dari ketentuan tersebut adalah rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Aryo Andrianto, menambahkan pemerintah seharusnya mulai tergerak untuk mendukung dan meregulasi produk tembakau alternatif seperti halnya Filipina.
Regulasi mengenai produk ini baru mencakup mengenai ketentuan cukai, belum meliputi batasan usia pengguna, tata cara pemasaran dan pengawasan, label peringatan kesehatan yang berbeda dengan rokok, hingga ketentuan larangan untuk non-perokok, ibu hamil serta ibu menyusui.
“Pemerintah Filipina selangkah lebih maju dari Pemerintah Indonesia dalam memperlakukan produk tembakau alternatif melalui regulasi yang mengatur seluruh aspek mulai dari impor, distribusi, penjualan, konsumsi, kemasan, pemasaran, iklan, promosi, dan sponsorship,” kata Aryo.
Sebagai langkah awal dalam pembentukan regulasi, Pemerintah Indonesia perlu bersikap terbuka terhadap produk tembakau alternatif, sekaligus menciptakan ruang dialog dengan para pemangku kepentingan terkait untuk menampung aspirasi dari publik.
Pemerintah juga dapat mempelajari hasil dari berbagai penelitian terhadap produk ini yang sudah diterbitkan oleh para peneliti baik dari dalam dan luar negeri yang menyimpulkan bahwa produk ini mampu menekan risiko kesehatan jika dibandingkan dengan rokok.
Selanjutnya, pemerintah dapat memfasilitasi dan mengajak seluruh pemangku kepentingan yang meliputi kementerian/lembaga, akademisi, praktisi kesehatan, pelaku industri, dan konsumen untuk terlibat dalam sebuah penelitian produk tembakau alternatif.
Hasil dari kajian tersebut nantinya bisa digunakan sebagai landasan penyusunan regulasi yang komprehensif dan berdasarkan dengan profil risikonya.
Pada akhirnya, beleid bagi produk ini harus dibedakan dengan regulasi rokok.
“APVI siap bekerja sama dengan pemerintah dalam menyediakan informasi dan data mengenai produk tembakau alternatif. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan akan menghadirkan regulasi yang memberikan manfaat bagi seluruh pihak,” seru Aryo.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kominfo: Transformasi Digital Klinik, Upaya Peningkatan Layanan Kesehatan
Redaktur & Reporter : Yessy Artada