jpnn.com, JAKARTA - Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil menyatakan, berbagai masalah petani sawit hingga saat ini masih mengemuka.
Padahal, jelas di Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memerintahkan penguasaan kekayaan alam, khususnya hutan diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat.
BACA JUGA: Jokowi Pamerkan Kemandirian Energi Indonesia, Dimulai dari Sawit
Berbagai masalah tersebut antara lain terkait legalitas lahan, konflik lahan, ketidakpastian harga tandan buah segar dan marjinalisasi tata kepengurusan lahan sawit rakyat, dalam kawasan hutan.
"Lahan berhutan yang dikuasai negara harus dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, termasuk petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada hutan," ujar Hifdzil dalam pesan elektronik yang diterima Rabu (19/8).
BACA JUGA: Ini Lahan Sawit Nurhadi yang Disita KPK, Luas Banget
Mantan Wakil Direktur Pukat UGM itu menyayangkan konflik masih kerap terjadi, padahal Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan.
Mulai dari UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
BACA JUGA: Serikat Petani Kelapa Sawit Protes Pergantian Dirut BPDPKS
Regulasi ini menjadi alat pemerintah menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan, yang berorientasi pada penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan.
Sementara itu, masalah historis-kultural tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan struktural.
Pemerintah juga menerbitkan Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
"Sayangnya, perpres ini tidak memasukkan lahan sawit sebagai lahan yang masuk dalam kriteria lahan garapan. Sebab, lahan garapan yang dimaksud adalah bidang tanah di dalam kawasan hutan, yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran, dan/atau tambak (Pasal 5 ayat (4) Perpres 88/2017)," ucapnya.
Lebih lanjut pengajar hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga ini menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menerbitkan regulasi, berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (PermenLHK P.83/2016) kurang menjawab persoalan yang dihadapi petani sawit.
Peraturan itu dianggap sebagai jalan tengah penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, dengan memberikan akses legal kepada masyarakat berupa pengelolaan hutan negara.
Salah satunya dengan mengklasifikasikan hutan sebagai hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat (Pasal 4 PermenLHK P.83/2016).
Sayangnya, dari kajian HICON diketahui kehadiran peraturan Menteri LHK ini justru secara terang-terangan melarang sawit.
Larangan itu tertuang dalam Pasal 56 ayat (5) yang intinya melarang pemegang izin perhutanan sosial menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya.
“Memang PermenLHK P.83 memberikan toleransi atas sawit dalam areal hak perhutanan sosial, tetapi batas toleransi itu diberikan ketika sawit sedang dalam masa produktif, 12 tahun," katanya.
Hifdzil kemudian mendesak Mahkamah Agung memberikan fatwa terhadap frasa “lahan garapan” dalam Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah dalam Kawasan Hutan, dengan memasukkan lahan sawit sebagai bagian dari lahan garapan.
Hifdzil juga mendesak DPR melakukan pengawasan terhadap langkah penyelesaian lahan sawit rakyat, dalam kawasan hutan.
Sementara itu kepada pemerintah, Hifdzil meminta untuk membuat dan mengembangkan mekanisme penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan, yang bernuansa afirmatif. Seperti perhutanan sosial, reforma agraria, maupun redistribusi lahan garapan.(gir/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang