jpnn.com - JAKARTA - Menjelang akhir pemerintah, kabinet presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus mendapat desakan untuk menaikkan kembali harga BBM bersubsidi. Hal tersebut dikarenakan selisih harga BBM bersubsidi sudah jauh dari harga keekonomian.
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, pihaknya meminta kabinet incumbent untuk menaikkan harga BBM bersubsidi Agustus ini. Hal tersebut untuk diakui perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BACA JUGA: Mulai Bangun Kereta Trans Sulawesi, Target Selesai 2016
"Pemerintah sudah seharusnya menaikkan harga BBM. Sebenarnya, Premium itu sudah mencapai Rp 6.000 pada 2008. Tapi diturunkan menjadi Rp 4.500. Jadi, sekarang itu hanya kembali ke kondisi 2008. Jadi, harusnya dinaikkan sekali lagi," ungkapnya di Jakarta kemarin (12/8).
Soal besaran, dia mengusulkan adanya kenaikan sebesar Rp 1.500 per liter. Dengan begitu, harga premium bakal menjadi Rp 8.000 per liter dan harga solar bersubsidi menjadi Rp 7.000 per liter.
BACA JUGA: Menlu Jepang Dukung Visi Tol Laut Jokowi
"Dengan begitu, kabinet baru nanti hanya perlu menaikkan Rp 1.000 lagi. Dengan begitu, subsidi tak akan memberatkan," terangnya.
Dia menegaskan, sistem subsidi BBM di Indonesia bisa diibaratkan kanker. Hal tersebut seiring menurunnya produksi minyak mentah dan naiknya harga minyak mentah di Indonesia. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat terhadap beberapa jenis BBM di Indonesia perlahan terus meningkat. Hal tersebut memicu impor BBM yang menghabiskan dana banyak bagi dunia.
BACA JUGA: Januari APBN Baru Lagi
"Produksi minyak mentahs ekarang sudah sampai di bawah 800 ribu barel per hari (bph). Dengan konsumsi yang naik, jelas impornya akan semakin besar. Itu yang membuat banyak permaslahan di Indonesia," jelasnya.
Dari kondisi itu, lanjut dia, pemerintah sering menjadikan bertambahnya kendaraan sebagai alasan bertambahnya impor. Namun, dia menilai jumlah kendaraan di Indonesia masih belum pada tahap yang parah. Hal tersebut ditunjukkan dalam tingkat kepadatan roda empat di Indonesia.
"Kan yang disalahkan pengusaha mobil. Padahal, kalau kita lihat populasi kendaraan roda empat per seribu jiwa hanya 69 unit saja. Masih kalah dengan Afrika Selatan yang mencapai 165 per seribu jiwa. Malah, populasi kendaran roda empat per seribu jiwa di Malaysia mencapai 378 unit," jelasnya.
Namun, lanjut dia, faktor harga dan produksi memang menjadi penentu terhadap beban impor yang dilakukan pemerintah. Tahun lalu, impor BBM ke Indonesia sudah mencapai USD 28 miliar. Sedangkan, impor BBM pada semester I 2014 sudah mencapai USD 13,3 miliar.
"Jika dibandingkan antara ekspor dan impor minyak mentah, sudah terjadi defisit perdagangan. 2013 lalu, netto perdagangan minyak sudah tercatat minus USD 27,7 miliar. Bahkan kalau digabungkan menjadi migas (minyak dan gas bumi), netto perdagangnnya masih tercatat minus USD 12,6 miliar. Artinya gas pun tidak bisa membantu kinerja perdagangan minyak," jelasnya.
Sementara itu, pengamat energi Kurtubi turut mendukung permintaan tersebut. Menurutnya, langkah menaikkan harga BBM lebih baik dibandingkan skenario pembatasan yang dilakukan pemerintah saat ini. Sebab, negara berkembang memang membutuhkan bahan bakar yang banyak.
"Sudah menjadi ilmu dasar jika konsumsi energi negara berkembang tumbuhnya sangat tinggi. Dan itu tentunya harus diimbangi dengan kuota BBM yang meningkat. Sekarang kok malah dikurangi. Padahal, Indonesia perlu menumbuhkan ekonomi. Itu menjadi jawaban agar lebih banyak tenaga kerja terserap," paparnya. (bil)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Investasi KEK Terkendala Insentif
Redaktur : Tim Redaksi