jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan pemerintah menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final menjadi 0,5 persen dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi maksimal 1 persen untuk penerbitan instrumen investasi dana investasi real estate (DIRE), mendapat apresiasi kalangan real estate Indonesia.
Sayangnya, pemerintah belum juga menerbitkan PP terkait dengan penurunan tarif BPHTB menjadi 1 persen, sehingga pemerintah daerah belum menyesuaikan penurunannya.
BACA JUGA: Ajang Mengenal Lebih Dekat Produk Properti Agung Podomoro
''Karena tidak ada PP-nya, hingga kini pemerintah daerah belum dapat pedoman dalam menetapkan Perda guna mendukung pelaksanaan DIRE, termasuk menurunkan BPHTB dari maksimum 5 persen menjadi 1 persen bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE. Akibatnya, tarif BPHTB masih berlaku 2,5 persen,"' ujar Kepala Kompartemen Obligasi dan DIRE DPP Real Estat Indonesia (REI) Herry Santoso.
Pemangkasan BPHTB menjadi 1 persen bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE, kata Herry, menjadi hal krusial untuk memastikan penerbitan investasi DIRE di dalam negeri lebih menarik dibandingkan luar negeri.
BACA JUGA: Pengembang Minta Pelonggaran Loan to Value
“Kami mendorong pemerintah agar menerbitkan PP tentang tarif BPHTB 1 persen sehingga pemerintah daerah bisa segera menurunkan tarif BPHTB-nya. REI berharap koordinasi pusat dan daerah dapat berjalan lancar agar penerbitan instrumen investasi DIRE dapat terealisasi dengan segera oleh para pengembang,'' katanya.
Selama ini kalangan real estate Indonesia tidak terlalu tertarik dengan DIRE karena tidak bisa bersaing dengan Real Estate Investment Trust (REIT) di negara-negara Asia lainnya. Salah satunya karena besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terlalu tinggi.
BACA JUGA: Rumah Second Investasi yang Menggiurkan
Selain itu, transaksi DIRE di Indonesia tidak likuid bila dibandingkan dengan Singapura. Dengan kata lain, banyak investor yang kurang tertarik dengan produk DIRE ini
Selain pajak, Herry juga menyoroti suku bunga kredit perbankan di Indonesia yang terbilang tinggi. Kondisi ini pula yang membuat banyak pengembang lokal mencari dana pinjaman luar negeri.
Dengan kata lain, kita belum ''Swasembada Funding'' di negeri sendiri. Banyak pengusaha yang melirik pinjaman di luar negeri karena suku bunganya bisa satu digit (single digit) bahkan jika ditambah lindung nilai (hedge) juga masih satu digit. DIRE saat membeli aset sebagian besar dengan hutang, di mana jika suku bunga pinjaman tinggi maka akan memberatkan operasional DIRE.
Di Singapura, suku bunga pinjaman hanya satu digit, sehingga banyak yang menjual asetnya di Singapura karena tidak membebankan biaya operasional DIREnya.
''Dari pemberitaan sejumlah media diketahui suku bunga kredit perbankan nasional per Juli 2017 rata-rata masih double digit yakni 11,73 persen dibanding 11,77 persen pada Juni 2017,'' jelasnya.
Dengan tarif pajak dan bunga kredit rendah, Herry yakin investasi DIRE akan semakin semarak. ''Dampaknya, bukan saja mendorong sektor property, tapi juga infrastuktur serta bisa menggerakkan sektor lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi,'' pungkasnya. (chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jayaland Garap Investor Properti
Redaktur & Reporter : Yessy