Pemerintah Harus Hitung Risiko Menyelamatkan Garuda Indonesia

Sabtu, 16 Mei 2020 – 20:08 WIB
Pesawat Garuda Indonesia. Foto dok jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus menilai badai kesulitan keuangan PT Garuda Indonesia sedikit mereda setelah mendapat pinjaman jangka pendek dari Bank BRI yang totalnya lebih dari Rp 5 triliun serta talangan modal kerja dari pemerintah sebesar Rp 8,5 triliun.

Deddy mengatakan, kesulitan Garuda juga mereda karena adanya inisiatif penundaan pembayaran SUKUK USD 500 juta yang jatuh tempo pada awal Juni 2020.

BACA JUGA: Eks Dirut Garuda Indonesia Diganjar 8 Tahun Penjara

Angin segar itu berembus seiring dengan penunjukan PJT Partners sebagai financial advisor Garuda sebagai negosiator ke para pemegang SUKUK. Meski demikian, Garuda harus melakukan restrukturisasi bisnisnya agar bisa bertahan.

“Untuk mempertahankan hidupnya sampai keadaan new normal pasca Covid-19, Garuda setidaknya membutuhkan dana talangan sebesar USD 700 juta. Selain itu Garuda harus benar-benar merestrukturisasi bisnisnya secara menyeluruh jika masih ingin eksis pasca Covid-19,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis, Sabtu (16/5).

BACA JUGA: Khusus Rute Ini, Garuda Indonesia Mulai Melayani Penumpang 11 Mei

“Garuda bisa bernapas sedikit lega ketika pemerintah mengutarakan niatnya untuk memberikan ‘talangan modal kerja’ sebesar Rp 8,5 triliun. Walau suntikan talangan modal kerja ini terasa sangat janggal untuk perusahaan publik seperti Garuda, yang sebagian sahamnya dimiliki publik,” sambung Deddy.

Menurut Deddy, mekanisme suntikan dana tersebut harus jelas. Jika merupakan penyertaan modal negara (PMN) maka berarti pemerintah menambah kepemilikan saham di Garuda. Pada saat yang sama, publik pemegang saham juga harus menambahkan sahamnya, atau akan terdilusi jika tidak menambah sahamnya di Garuda.

BACA JUGA: Garuda Mulai Angkut Penumpang ke Jambi

“Jika sifat dari suntikan ini merupakan ‘talangan modal kerja’, mungkin sebagai utang subordinasi, maka mekanismenya tingkat pengembalian dan waktu pengembaliannya juga harus jelas,” ujar Deddy.

Sebagai contoh, kata Deddy, Singapore Air yang baru saja mendapat suntikan SGD 19 miliar. Suntikan dana tersebut terdiri dari SGD 5,3 miliar sebagai tambahan modal (equity) dari Temasek, SGD 9,7 miliar convertible bond oleh Temasek, serta SGD 4 miliar pinjaman dari DBS group Holdings.

“Semua jelas dari awal. Pemegang saham lain yang tidak menambahkan modal akan langsung terdilusi. Dan akan terdilusi lebih dalam lagi ketika convertible bond dikonversi jadi saham Temasek (pemerintah Singapura),” ungkap Deddy.

Namun, jika dana talangan modal kerja ini menjadi utang dari pemegang saham (subordinasi), Deddy mempertanyakan apakah pemerintah begitu percaya Garuda sanggup akan mengembalikan utang tersebut. Pasalnya Garuda selama bertahun-tahun hampir tidak pernah membukukan keuntungan.

“Menurut saya, pemerintah sangat berisiko mengeluarkan suntikan sangat besar untuk sesuatu yang tidak perlu, dibanding dengan hal-hal lain yang harus pemerintah intervensi. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab pemegang saham lainnya. Jika hanya pemerintah yang menyelamatkan Garuda, tentu pihak lain pasti akan mendapatkan keuntungan,” ujar Deddy.

Selain itu, Deddy juga mempertanyakan nasib SUKUK USD 500 juta diperpanjang dengan harga berapa dan selama berapa lama, dengan jaminan apa. Deddy khawatir durasi dan harga yang lebih tinggi akan semakin memberatkan kinerja Garuda ke depan.

“Jangan sampai perpanjangan SUKUK mensyaratkan jaminan pemerintah juga, yang bisa menyeret pemerintah atau lembaga pemerintah yang menjamin ke dalam badai keuangan Garuda yang tidak pernah sehat,” kata wakil rakyat dari dapil Kalimantan Utara tersebut.

“Saya ingin melihat penyelesaian masalah Garuda ini tidak dilakukan sepotong-sepotong. Inti permasalahan Garuda berawal dari kinerja perusahaan yang payah karena tidak pernah dikelola dengan baik. Garuda harus sanggup menyajikan program penyehatan bisnis nya. Sehingga pemegang saham (pemerintah) menjadi yakin Garuda akan mengembalikan investasi dan ‘talangan modal kerja’ tersebut,” pungkas Deddy. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler