jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Sadino menyebut penerbitan izin lokasi dan hak atas tanah untuk berusaha terkadang berlawanan dengan klaim kawasan hutan. Hal itu terjadi karena masih adanya perbedaan peta.
Apalagi saat ini belum ada One Map Police di Indonesia. Supaya tak berlarut-larut, pemerintah pun harus melindungi investasi perkebunan sawit.
BACA JUGA: Harga Sawit Makin Moncer, Bukan Main
Menurut Sadino, bupati atau pemerintah daerah memiliki kewenangan memberikan izin lokasi, asalkan sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Hal itu berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.
BACA JUGA: Perusahaan Kelapa Sawit di Inhu Dilaporkan, Disnaker Harus Perjuangkan Hak Masyarakat
Bahkan, dari izin lokasi sudah terbit hak atas tanah seperti HGU, HGB, SHM, HP, dan hak lainnya, namun masih diklaim sebagai kawasan hutan. Penerima izin lokasi dan hak atas tanah sering menjadi objek kesalahan.
“Siapa yang harus disalahkan, kok penerima izin dan hak yang sudah membayar pajak dan kewajiban lainnya kepada negara tetapi tidak dilindungi investasi dan hak-haknya,” kata Sadino dalam siaran persnya, Rabu (18/1).
BACA JUGA: Pelaku Penembakan di Kebun Sawit Ternyata Sudah Pernah Dihukum
Sadino menuturkan peraturan yang berkaitan dengan izin lokasi tidak hanya Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal.
Namun, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan juga mengatur perizinan bidang perkebunan yang di dalamnya ada perkebunan kelapa sawit. Perubahan selalu terjadi dan saat ini izin lokasi digantikan dengan SKKR.
“Dalam ketentuan umum peraturan Menteri Agraria menjelaskan izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak,” ujar Sadino.
Menurut Sadino, hal ini sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan kegiatan pengukuhan kawasan hutan “memperhatikan” tata ruang wilayah.
Artinya tata ruang wilayah sebagai dasar pemberian izin lokasi adalah sebagai panglimanya. Di dalam "pengukuhan kawasan hutan" yang dijalankan juga harus "memperhatikan" tata ruang wilayah.
"Pemerintah juga wajib memberikan perlindungan hukum, khususnya investasi bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,” kata dia.
Kemudian, apabila terjadi permasalahan, misalnya, izin lokasi dan hak atas tanah berisisan dengan kawasan hutan sejatinya sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 pemerintah sudah berusaha menyelesaikannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
Hal ini, lanjut Sadino, juga didukung dengan lahirnya Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja juga mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B.
"Penyelesaian permasalahan perkebunan kelapa sawit telah diatur Pasal 110A dan Pasal 110B baik itu yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja," sebutnya.
Terkait izin lokasi beririsan atau dikaitkan dengan kawasan hutan, menurut Sadino, memang kadang terjadi perbedaan antara Peta Tata Ruang Wilayah dengan Peta Kawasan Hutan. Hal ini disebabkan belum adanya One Map Police di Indonesia.
"Dengan adanya perbedaan peta itu, maka diperlukan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah," ujar dia. (cuy/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Sawit Melejit, Produk CPO Paling Tinggi
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan