Pemerintah Hentikan Pengiriman Pembantu Rumah Tangga ke Timur Tengah

Senin, 04 Mei 2015 – 21:35 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri memutuskan penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk pembantu rumah tangga atau domestic worker ke 21 negara di Timur Tengah. Dengan kebijakan yang tertuang dalam roadmap penghentian pengiriman TKI ke luar negeri itu, maka pihak yang melanggarnya akan dikenai sanksi pidana.

“Dengan adanya roadmap penghentian TKI domestic worker itu maka seluruh pengiriman dan penempatan TKI PRT ke 21 negara Timur Tengah adalah terlarang dan masuk kategori tindak pidana trafficking (perdagangan orang),” kata Hanif saat menyampaikan kebijakan  Roadmap Penghentian Penempatan TKI di Luar Negeri Pada Pengguna Perseorangan di kantor Kemnaker, Senin (4/5).

BACA JUGA: Kejagung Tangkap Buronan di Masjid

Pelarangan penempatan TKI  pada pengguna perseorangan ini berlaku untuk seluruh negara-negara Timur Tengah. Yaitu Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman dan Yordania.

Hanif mengatakan, keputusan pelarangan penempatan TKI ke Timur Tengah diambil mengingat saat ini masih didominasi tenaga kerja wanita (TKW) dan marak permasalahan. Misalnya menyangkut  pelanggaran norma ketenagakerjaan maupun terjadinya human trafficking.

BACA JUGA: Reshuffle Kabinet, Jokowi: Tanya Pak JK Aja

"Kebijakan ini juga berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo pada Februari 2015 yang meminta agar penempatan TKI PRT dihentikan. Serta  berdasarkan rekomendasi dari sejumlah duta besar dan KBRI  di negara Timur Tengah yang minta agar penempatan TKI PRT dihentikan " ungkapnya.

Menteri dari PKB ini menambahkan, perlindungan bagi TKI di sektor domestik terutama di negara-negara Timur Tengah masih sangat kurang. Terlebih lagi, katanya, budaya di Arab juga mempersulit tindakan untuk memberikan perlindungan.

BACA JUGA: Ingatkan Potensi Dana Desa Antar Ribuan Kades ke Penjara

Ia lantas menyebut masih berlakunya sistem kafalah (sponsorship) yang menyebabkan lemahnya posisi tawar TKI di hadapan majikan. Akibatnya, banyak TKI yang tak bisa pulang meskipun kontrak kerjanya habis karena dilarang majikan, atau dipindahkan ke majikan lainnya.

Selain itu standar gaji yang diberikan, juga relatif rendah yaitu berkisar Rp 2,7 juta - Rp 3 juta per bulan. Jumlah itu setara dengan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 2,7 juta, namun lebih rendah dibandingkan UMK di Bekasi yang mencapai Rp 3,2 juta. Hanif menyebut gaji itu tidak sebanding dengan risiko meninggalkan negara dan keluarga untuk bekerja di luar negeri.

"Alasan terpenting adalah karena belum adanya regulasi ketenagakerjaan yang baku dan mengikat di negara-tersebut sehingga merugikan TKI,” tegasnya.

Mengenai para TKI  yang sudah direkrut dan diproses, lanjutnya, pemerintah memberikan masa transisi selama tiga bulan. “Ada sekitar 4700  TKI  yang  sedang berproses  untuk bekerja ke Timur-Tengah. Ini yang terakhir dan tidak boleh ada lagi pengiriman,” kata Hanif.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Agung Laksono Akan Gugat PKPU ke MA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler