jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah diingatkan agar tidak terseret pada perdebatan apakah Indonesia sudah masuk fase krisis atau belum. Jika pemerintah terjebak pada perdebatan tersebut justru akan kontraproduktif, menguras energi dan menunjukkan kepanikan.
Demikian pendapat anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menanggapi kondisi terkini ekonomi dalam negeri. "Selain itu jika lebai dalam perdebatan, justru akan meningkatkan sentimen negatif pasar yang sedang menunggu aksi cepat pemerintah," ujar politikus asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kepada wartawan, Minggu (30/8).
BACA JUGA: Cegah Krisis Pemerintah harus Punya Terobosan Konkret
Pemerintah, menurut Andreas, harus fokus pada policy disertai kesiapan eksekusi yang cepat dan tepat dalam rangka pemulihan trust. Selain itu fokuskan pada hal-hal yang bisa memacu pertumbuhan dan penguatan rupiah.
"Pemerintah harus menyadari bahwa outlook ekonomi Indonesia jangka panjang masih potensial di kalangan investor, namun kita mengakui bahwa jangka pendek saat ini sedang mengalami turbulensi," sarannya.
BACA JUGA: Upaya Indosat Dorong Lahirnya Developer Cilik
Dalam jangka pendek, lanjutnya, revisi RAPBN 2016 secara fundamental harus dilakukan. Alasannya, RAPBN 2016 saat disusun belum mempertimbangkan situasi kekinian terutma devaluasi yuan di Tiongkok dan kondisi menuju perang harga minyak. Kecenderungan yang menonjol adalah RAPBN 2016 hanya mengantisipasi kenaikan suku bunga FED yang ternyata juga belum pasti kapan akan dieksekusi.
"Semua sepakat, perekonomian Indonesia sekarang sedang mengalami pelambatan, indikatornya antara lain menurunya pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun secara berturut-turut, di mana kuartal pertama (Q1) tahun 2013 tumbuh 5,6 persen, kemudian Q1 2014 turun menjadi 5,1 persen dan Q1/2015 kembali merosot ke angka 4,7 persen.
BACA JUGA: Garap Listrik, Korsel Siapkan Investasi Rp 80 Triliun
Faktor pelambatan itu berasal dari eksternal (global, red) dan internal (dalam negeri, red). Faktor eksternal jelas sekali bahwa saat ini banyak spot yang memicu pelambatan ekonomi seperti perang mata uang (currency war, red), kebijakan devaluasi Tiongkok, dan rencana kenaikan suku bunga FED. Sedangkan dari faktor internal adalah struktur perekonomian yang rapuh," paparnya.
Saat ini di Indonesia, masih menurut Andreas, sektor yang mulai terpukul adalah sektor industri berbahan baku impor dan produknya mengandalkan pasar dalam negeri dan capital market. Pemerintah wajib mengantisipasi agar pukulan itu tidak merembet ke sektor riil yang lebih luas.
"Karena jika sektor riil terpukul dampak selanjutnya adalah sektor perbankan berpotensi terseret," tukasnya.
Hal paling mendesak sekarang adalah, ucap Andreas, pemerintah segera membuat kebijakan yang berorientasi pada arah untuk menarik devisa dan konversi valas dari para eksportir ke rupiah dalam ke rangka menyeimbangkan supply dan demand dolar Amerika. Aksi yang menonjol sekarang adalah kebijakan berorientasi pada demand side sementara supply side kurang mendapat prioritas.
Dia juga menyatakan, selama ini yang bergerak di pasar sekarang hanya Bank Indonesia (BI). Untuk itu pemerintah melalui kebijakannya perlu mendorong eksportir yang devisnya di bank terutama di bank BUMN mengkonversi dolar mereka ke rupiah.
"Sektor pangan dan energi juga harus menjadi basis kebijakan pemerintah. Lonjakan berbagai kebutuhan pangan dalam negeri secara silih berganti selalu menghantui masyarakat. Kehadiran Pemerintah dalam bentuk kebijakan yang menjamin kestabilan harga kebutuhan pokok ini tidak bisa ditunda-tunda lagi," terang Andreas.
Di bidang energi, lanjutnya, rencana kenaikan harga elpiji 3 kilogram sepantasnya dikaji ulang dan memastikan pencabutan subsidi tarif dasar listrik tidak memukul sektor UMKM. Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan daya beli masyarakat yang semakin menurun dan beban hidup yang semakin berat.
Dengan demikian, kata Andreas, mendongkrak daya beli masyarakat berupa peningkatan distribusi pendapatan harus menjadi prioritas. Caranya antara lain memperbanyak proyek-proyek padat karya di sektor pertanian, pariwisata, investasi dalam negeri dan penjadwalan ulang proyek-proyek yang pendanaannya belum jelas sehingga hanya akan memperbesar utang dan defisit primer.
Dia menambahkan, sektor penerimaan negara terutama pajak perlu digenjot tetapi harus dengan target realistis. Target 2015 kemungkinan tidak tercapai. Dukungan kebijakan sektor pajak jangan hanya mengedepankan fungsi budgeter, tetapi juga fungsi insentif terutama kepada sektor UMKM.
Pemerintah dalam membuat paket kebijakan ekonomi harus benar-benar memperhatikan stake holder, baik kalangan pengusaha besar,menengah maupun kecil. Jangan sampai terjadi paket kebijakan lebih banyak menguntungkan pada konglomerasi.
“Harus diingat bahwa sektor UMKM adalah lokomotif perekonomian nasional yang jumlahnya mencapai 55 juta unit usaha dengan kontribusi 57 persen untuk PDB dan menyerap 99,7 persen tenaga kerja atau sekitar 114,6 juta," tutupnya. (aen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Daging Sapi dan Ayam Meroket, Menteri Susi Jualan Ikan
Redaktur : Tim Redaksi